Halini akhirnya memaksa golongan Mu'tazilah untuk menggunakan senjata yang dipakai lawan-lawannya, yaitu filsafat. Syekh husain al-jisr menjelaskan bahwa didalam membahas ilmu tauhid mempergunakan dalil-dalil yang meyakinkan yakni dalil naqli dan aqli . dalil naqli adalah pengetahuan tentang masalah - masalah agama yang diambil dari Namun mungkin yang kelihatan oleh orang ya saat latihan menggunakan kaki saja. Dan itu justru kabar gembira karena ilmu pertarungan lain masih bisa disimpan sebagai senjata pamungkas. Praktisi bela diri suka berantem. Saya pernah menulis tentang Duka Praktisi Bela Diri: Susah Mencari Guru, Stigma Suka Berkelahi, dan Dianggap Bisa Sembuhin Anggaradalah sebuah ilmu pengetahuan, juga di dalamnya terdapat satu tubuh mempergunakan pedang panjang ( 90 cm ), tanpa memakai pelindung tangan. Inilah dengan pandangan mengenai berbagai bentuk senjata yang dianggap terbaik, yang diketengahkan oleh Count Koeningsmarken dari Polandia sekitar Tahun 1680. Dari hasil gagasannya maka Nahdari situ kita (Warga Indonesia) hanya dilatih untuk mempergunakan senjata saja. Pada waktu itu PETA kalo gag salah. Dari situ juga Bangsa Indonesia itu sudah tertanam sampai terbawa ke anak cucu, tentang "mempergunakan", andai saja waktu itu ada warga Indonesia yang mau berpikir "Bagaimana ya membuat senjata ini??" Haiteman, Seperti yang Anda ketahui, kami mencoba memberikan jawaban yang paling relevan di internet. Dan sekarang, giliran permainannya TTS Pintar Tempat kelahiran olahraga bela diri karate.Bahasa permainan adalah bahasa Indonesia dan ada dalam banyak bahasa lainnya. Tentusaja dengan keterbatasan ilmu pengetahuan yang saya miliki. Kidung Di Atas Tanah Jawi bercerita tentang perjalanan seorang pemuda bernama Arya Gading. Berlatar belakang kerajaan Pajang di bawah pemerintahan Sultan Hadiwijoyo. " Paraji Gading sebenarnya aku sama sekali tidak menganggap perlu mempergunakan senjata ini. Namun terpaksa barang siapa, yang tanpa hak memasukkan ke indonesia membuat, menerima, mencoba memperoleh, menyerahkan atau mencoba menyerahkan, menguasai, membawa, mempunyai persediaan padanya atau mempunyai dalam miliknya, menyimpan, mengangkut, menyembunyikan, mempergunakan, atau mengeluarkan dari indonesia sesuatu senjata api, amunisi atau sesuatu bahan fLebRK. Sistem kami menemukan 25 jawaban utk pertanyaan TTS ilmu tentang mempergunaka senjata. Kami mengumpulkan soal dan jawaban dari TTS Teka Teki Silang populer yang biasa muncul di koran Kompas, Jawa Pos, koran Tempo, dll. Kami memiliki database lebih dari 122 ribu. Masukkan juga jumlah kata dan atau huruf yang sudah diketahui untuk mendapatkan hasil yang lebih akurat. Gunakan tanda tanya ? untuk huruf yang tidak diketahui. Contoh J?W?B Artileri memiliki 3 adalah sebuah homonim karena arti-artinya memiliki ejaan dan pelafalan yang sama tetapi maknanya memiliki arti dalam bidang ilmu memiliki arti dalam kelas nomina atau kata benda sehingga artileri dapat menyatakan nama dari seseorang, tempat, atau semua benda dan segala yang dibendakan. Artileri Nomina kata benda Senjata untuk melontarkan proyektilPasukan tentara yang bersenjata beratIlmu tentang mempergunakan senjata Kesimpulan Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia KBBI, arti kata artileri adalah senjata untuk melontarkan proyektil. Arti lainnya dari artileri adalah pasukan tentara yang bersenjata berat. Penelitian ini dilakukan dengan tujuan 1 untuk mengetahui, dan menganalisis terkait dengan penggunaan drone sebagai senjata dalam konflik bersenjata, serta 2 untuk menganalisis dan mengkaji terkait dengan aturan hukum yang berkaitan dengan penggunaan drone sebagai sennjata, jika dikaji dari perspektif Hukum Humaniter Internasional. Dalam penelitian ini menggunakan penelitian hukum normatif, dengan melakukan pendekatan perundang-undangan statute approach dan pendekatan kasus case approach. Bahan hukum yang digunakan adalah bahan hukum primer, sekunder, dan juga tersier sebagai dasar analisis. Berdasarkan hasil penelitian yang diperoleh menunjukkan bahwa 1 Penggunaan drone sebagai senjata dalam konflik bersenjata telah menyalahi aturan dasar dari hukum humaniter internasional. Dalam penggunaannya drone sebagai senjata tidak dapat membedakan secara pasti terkait target dan sasaran antara kombatan dan non-kombatan. Selain itu dalam pelaksanaan penggunaannya drone sebagai senjata belum menerapkan prinsip-prinsip dasar dari hukum hukaniter internasional. Kemudian, 2 Penggunaan drone sebagai senjata telah dilakukan tanpa adanya suatu aturan hukum yang memadai mengenai hal ini, Pasal 36 Protokol Tambahan I Tahun 1977 hanya memuat hal yang bersifat umum mengenai perkembangan teknologi persenjataan dan metode berperang, namun tidak secara spesifik mengatur mengenai penggunaan drone. Kekosongan anturan hukum yang secara spesifik dan khusus mengatur mengenai penggunaan drone, yang berkaitan dengan penggunaannya sebagai senjata, hal ini akan membuka peluang yang sangat besar terjadinya penyalahgunaan dan pelanggaran-pelanggaran hukum humaniter internasional. Sehingga penggunaan drone sebagai senjata harus dirumuskan dalam suatu aturan hukum tertentu. Aturan yang khusus dan mengikat diperlukan guna mencegah pelanggaran-pelanggaran yang terjadi dalam penggunaan drone sebagai senjata oleh negara, dan mencegah jatuhnya korban jiwa yang berlebihan dari pihak kombatan, maupun non-kombatan, selain itu agar pemanfaatan drone juga lebih pasti. Discover the world's research25+ million members160+ million publication billion citationsJoin for free e-Journal Komunikasi Yustisia Universitas Pendidikan Ganesha Program Studi Ilmu Hukum Volume 5 Nomor 1 Maret 2022 1 PENGGUNAAN DRONE SEBAGAI SENJATA DALAM KONFLIK BERSENJATA DITINJAU DARI PERSPEKTIF HUKUM HUMANITER INTERNASIONAL David Greacy Geovanie1, Dewa Gede Sudika Mangku2, Ni Putu Rai Yuliartini3 Program Studi Ilmu Hukum Universitas Pendidikan Ganesha Singaraja, Indonesia e-mail {davidgio2404 raiyuliartini Abstrak Penelitian ini dilakukan dengan tujuan 1 untuk mengetahui, dan menganalisis terkait dengan penggunaan drone sebagai senjata dalam konflik bersenjata, serta 2 untuk menganalisis dan mengkaji terkait dengan aturan hukum yang berkaitan dengan penggunaan drone sebagai sennjata, jika dikaji dari perspektif Hukum Humaniter Internasional. Dalam penelitian ini menggunakan penelitian hukum normatif, dengan melakukan pendekatan perundang-undangan statute approach dan pendekatan kasus case approach. Bahan hukum yang digunakan adalah bahan hukum primer, sekunder, dan juga tersier sebagai dasar analisis. Berdasarkan hasil penelitian yang diperoleh menunjukkan bahwa 1 Penggunaan drone sebagai senjata dalam konflik bersenjata telah menyalahi aturan dasar dari hukum humaniter internasional. Dalam penggunaannya drone sebagai senjata tidak dapat membedakan secara pasti terkait target dan sasaran antara kombatan dan non-kombatan. Selain itu dalam pelaksanaan penggunaannya drone sebagai senjata belum menerapkan prinsip-prinsip dasar dari hukum hukaniter internasional. Kemudian, 2 Penggunaan drone sebagai senjata telah dilakukan tanpa adanya suatu aturan hukum yang memadai mengenai hal ini, Pasal 36 Protokol Tambahan I Tahun 1977 hanya memuat hal yang bersifat umum mengenai perkembangan teknologi persenjataan dan metode berperang, namun tidak secara spesifik mengatur mengenai penggunaan drone. Kekosongan anturan hukum yang secara spesifik dan khusus mengatur mengenai penggunaan drone, yang berkaitan dengan penggunaannya sebagai senjata, hal ini akan membuka peluang yang sangat besar terjadinya penyalahgunaan dan pelanggaran-pelanggaran hukum humaniter internasional. Sehingga penggunaan drone sebagai senjata harus dirumuskan dalam suatu aturan hukum tertentu. Aturan yang khusus dan mengikat diperlukan guna mencegah pelanggaran-pelanggaran yang terjadi dalam penggunaan drone sebagai senjata oleh negara, dan mencegah jatuhnya korban jiwa yang berlebihan dari pihak kombatan, maupun non-kombatan, selain itu agar pemanfaatan drone juga lebih pasti. Kata kunci Penggunaan drone, senjata, hukum humaniter Abstract This research was conducted with the objectives of 1 to identify, and analyze related to the use of drones as weapons in armed conflict, and 2 to analyze and study related to the rule of law relating to the use of drones as weapons, if studied from the perspective of International Humanitarian Law. This research uses normative legal research, by taking a statutory approach and a case approach. The legal materials used are primary, secondary, and tertiary legal materials as the basis for analysis. Based on the results of the research, it shows that 1 The use of drones as a weapon in armed conflict has violated the basic rules of international e-Journal Komunikasi Yustisia Universitas Pendidikan Ganesha Program Studi Ilmu Hukum Volume 5 Nomor 1 Maret 2022 2 humanitarian law. In the use of drones as weapons, it is not possible to clearly distinguish between targets and targets between combatants and non-combatants. In addition, in implementing the use of drones as weapons, the basic principles of international humanitarian law have not been implemented. Then, 2 The use of drones as weapons has been carried out without an adequate legal regulation regarding this matter, Article 36 of Additional Protocol I of 1977 only contains general matters regarding the development of weapons technology and methods of warfare, but does not specifically regulate the use of drones. The absence of legal rules that specifically and specifically regulate the use of drones, which are related to their use as weapons, will open up enormous opportunities for abuse and violations of international humanitarian law. So the use of drones as weapons must be formulated in a certain legal rule. Specific and binding rules are needed to prevent violations that occur in the use of drones as weapons by the state, and prevent excessive casualties, from combatants and non-combatants, besides that the use of drones is also more certain. Keywords Use drones, weapons, humanitarian law PENDAHULUAN Sejak awal hukum humaniter internasional telah berupaya untuk membatasi penderitaan to limit the suffering yang disebabkan oleh konflik bersenjata. Untuk mencapai hal tersebut, hukum humaniter internasional membatasi perilaku kombatan serta pemilihan cara dan metode perang, termasuk senjata yang digunakan ICRC, 2009. Hukum humaniter tidak dimaksudkan untuk melarang perang, karena dari sudut pandang hukum humaniter, perang merupakan suatu kenyataan yang tidak dapat dihindari Ambarwati, 2013. Tujuan utama dari hukum humaniter internasional ialah untuk memberikan perlindungan terhadap korban konflik bersenjata dan mengatur peperangan dengan mendasarkan pada keseimbangan antara kebutuhan militer military necessity dan kemanusiaan humanity Melzer, 201616. Aturan tentang larangan dan pembatasan atas senjata-senjata tertentu dapat ditemukan dalam berbagai perjanjian serta dalam hukum kebiasaan konfliik bersenjata Henckaerts, 2005 87. Selain itu, hukum humaniter internasional juga berupaya mengatur perkembangan teknologi senjata dan akuisisi senjata baru oleh negara-negara. Pasal 36 Protokol Tambahan I, misalnya mengharuskan setiap negara pihak untuk memastikan bahwa penggunaan senjata, cara atau metode perang baru apa pun yang dipelajari, dikembangin, diperoleh atau diadopsi akan mematuhi aturan hukum humaniter internasional yang mmengikat negara-negara tersebut. Seperti diketahui bahwa perkembangan ilmu pengetahuan yang sangat pesat dapat memicu perkembangan teknologi persenjataan. Pasal 36 Protokol Tambahan I adalah untuk mengantisipasi munculnya senjata-senjata jenis baru yang secara spesifik belum diatur oleh hukum humaniter internasional. Secara umum, senjata yang dilarang penggunaannya oleh hukum humaniter internasional adalah senjata-senjata yang sifatnya indiscriminate tidak pandang bulu atau membabi buta. Sedikitnya ada tiga kriteria indiscriminate weapons, yakni; 1 senjata-senjata yang tidak dapat diarahkan pada suatu sasaran militer tertentu specific military objectives, 2 tidak dapat membedakan antara sasaran militer dan warga sipil, 3 senjata-senjata yang dampaknya tidak dapat dibatasi sebagaimana diharuskan oleh hukum humaniter internasional Protokol Tambahan I ICRC, 2019. Persenjataan lainnya yang secara umum juga dilarang penggunaannya oleh hukum humaniter internasional adalah senjata-senjata yang dapat menyebabkan cedera berlebihan dan penderitaan yang tidak perlu superfluous injury and unnecessary suffering. Gagasan bahwa hukum harus berupaya mengendalikan alat-alat perang yang membunuh, melukai, dan menghancurkan, sekilas tampaknya tidak e-Journal Komunikasi Yustisia Universitas Pendidikan Ganesha Program Studi Ilmu Hukum Volume 5 Nomor 1 Maret 2022 3 mungkin. Padahal jika dilihat dari realisme praktis dari hukum internasional bahwa secara fakta perang dapat diterima dan fokus pragmatis dari hukum diarahkan pada upaya untuk meringankan konsekuensi terburuknya Bakry, 201984. Secara tradisional, yang dimaksud dengan senjata, berarti meliputi persenjataan, sistem persenjataan atau platform yang digunakan untuk tujuan serangan. Dalam perkembangannya peralatan bersenjata yang dipakai saat ini telah mengalami perkembangan yang sangat pesat. Peralatan bersenjata merupakan salah satu sarana penunjang dalam konflik bersenjata untuk mendapat sasaran yang ingin dicapai. Saat ini orang tidak perlu lagi berada dalam arena konflik bersenjata untuk bertempur, karena saat ini pertempuran dapat dilakukan dengan menggunakan remote-controlled weapon systems dan robotic weapon systems. Salah satu senjata yang termasuk dalam remote-controlled weapon systems adalah drone atau yang juga dikenal dengan unmanned aerial vehicles Kellenberger, 2014. Istilah pesawat tanpa awak unmanned aircraft vehicles atau yang lebih populer dikenal dengan istilah drone, secara ringkas dapat didefinisikan sebagai pesawat udara yang dapat beroperasi tanpa dikemudikan oleh seorang pilot di dalamnya juga dikenal sebagai pesawat udara dikendalikan dari jarak jauh atau RPV/remotely pilotd vehicle. Tujuan digunakannya drone dapat ditujukan untuk kegiatan yang tidak ditujukan untuk digunakan sebagai senjata non-elthal purpose dan digunakan sebagai senjata lethal purpose. Contoh penggunaan drone dalam lingkup non-lethal purpose adalah pengawasan, pengumpulan informasi, pengangkut bantuan kemanusiaan. Dan ketika dilengkapi dengan roket atau misil maka drone tersebut difungsikan sebagai senjata. Penggunaan drone pertama kali digunakan oleh pihak militer pada era perang dunia pertama sebagai sarana untuk latihan yang mana pada waktu itu digunakan dalam latihan anti-pesawat terbang. Kemudian dalam perkembangannya drone digunkan dalam perang dunia kedua sebagai peluru kendali. Pada tahun 1999 dalam konflik di Kosovo muncul ide untuk mempersenjatai drone dengan senjata dan mengubah fungsinya yang pada waktu itu hanya digunakan sebagian besar untuk pengumpulan informasi Medea, 2012; 13. Pada tahun 2004 drone hanya dimiliki oleh 46 negara tapi pada tahun 2012 jumlah negara yang sudah memiliki teknologi drone berjumlah 76 negara US Government Accountability Office, 2012101. Sebagian besar negara ini menggunakan drone untuk pengawasan, kegiatan intelejen, dan dalam operasi kemanusiaan. Negara yang menggunakan drone sebagai senjata diperlengkapi dengan senjata hanya 5 negara saja yakni Israel, Inggris, Amerika Serikat, Cina dan Iran Franke, 2014121. Akan tetapi dengan perkembangan teknologi yang sangat pesat saat ini, terbuka kemungkinan yang sangat besar bagi negara-negara lain untuk menggunakan drone sebagai senjata, terutama di dalam konflik bersenjata. Drone sebagai senjata banyak dilakukan oleh Amerika di beberapa negara seperti Yaman, Pakistan dan Somalia. Council on Foreign Relation CFR menyebutkan bahwa dalam kurun waktu 2012 telah terjadi 411 serangan drone di Yaman, Pakistan, dan Somalia. The New America Foundation menyebutkan bahwa dalam kurun waktu tahun 2007 hingga tahun 2010 terjadi peningkatan penggunaan drone. Pada tahun 2007 terjadi 4 serangan, tahun 2008 terjadi 36 serangan, tahun 2009 terjadi 54 serangan, dan tahun 2010 terjadi 122 serangan Hurlburt, 201462. Hal ini menunjukan bahwa dalam konflik bersenjata saat ini drone menjadi salah satu pilihan senjata yang dianggap dapat membawa hasil yang signifikan, dan sangat efektif dalam mengenai sasaran atau target yang diinginkan. Namun dalam penggunaan drone sebagai senjata tidak didasari pada suatu aturan khusus yang mengatur mengenai penggunaan drone sebagai senjata. e-Journal Komunikasi Yustisia Universitas Pendidikan Ganesha Program Studi Ilmu Hukum Volume 5 Nomor 1 Maret 2022 4 Penggunaan teknologi drone sebagai senjata tempur menimbulkan beberapa masalah, baik dari sisi perbuatan maupun akibatnya. Dari sisi perbuatan, ketika drone dimanfaatkan sebagai senjata maka peserta dalam konflik bersenjata tidak lagi hanya melibatkan antar-manusia yang saling bertikai tetapi antara robot yang tidak bernyawa melawan pihak yang bernyawa manusia. Di samping itu juga, berkaitan dengan legalitas perang ius ad bellum, ius in bello Mangku, 2018 dan penggunaan drone sebagai alat tempur, maka serangan drone bisa saja dilakukan secara diam-diam, kapan saja, dan tanpa diketahui pihak lawan. Maka ketika ditinjau dari sisi akibat, tidak mengherankan jika saat ini banyak korban sipil akibat serangan drone Hutapea, 2013. Perumusan aturan hukum mengenai penggunaan drone khususnya yang berkaitan dengan penggunaannya sebagai senjata menjadi sangat penting saat ini, karena perkembangan teknologi saat ini mengarah kepada drone yang bersifat otonom. Artinya tidak diperlukan seseorang untuk mengontrol drone tersebut, namun drone akan beroperasi sendiri secara komputerisasi sesuai dengan misi yang telah diprogramkan sebelumnya Medea, 201240-41. Berdasarkan hal tersebut, untuk mengkaji lebih dalam mengenai pengaturan terhadap penggunaan pesawat tanpa awak atau drone di dalam konflik bersenjata internasional, maka dalam penelitian ini mengangkat judul “Penggunaan Drone Sebagai Senjata Dalam Konflik Bersenjata Ditinjau Dari Perspektif Hukum Humaniter Internasional”. METODE Proses penelitian hukum memerlukan metode penelitian yang akan menunjang hasil dari penelitian tersebut. Dalam penelitian ini digunakan metode penelitian, dengan jenis penelitian yakni penelitian hukum normatif, yang dilakukan dengan cara mengkaji suatu sistem peraturan perundang-undangan yang berlaku atau yang digunakan dalam suatu permasalahan hukum tertentu. Tidak hanya peraturan perundangang-undangan, tapi juga pengumpulan data dengan jenis penelitian normatif ini dapat menggunakan bahan pustaka lainnya Ishaq, 2017 20. Dalam penelitian ini akan dikaji lebih dalam mengenai penggunaan drone sebagai senjata dalam konflik bersenjata ditinjau dari Konvensi Den Haag 1907 dan Protokol Tambahan I Konvensi Jenewa 1977. Terdapat dua jenis Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini, yaitu Pendekatan peraturan perundang-undangan statute approach, yang dimana dilakukan dengan cara menelaah semua peraturan perundang-undangan yang bersangkut paut dengan permasalahan atau isu hukum yang sedang dihadapi. Dalam penelitian ini akan ditelaah aturan yang berkaitan dengan penggunaan drone sebagai senjata dalam konflik bersenjata ditinjau dari Konvensi Den Haag 1907 dan Protokol Tambahan I Konvensi Jenewa 1977. Kemudian pendekatan kasus case approach, dimana dalam penelitian ini akan dianalisis kasus terhadap penyalahgunaan drone sebagai senajata dalam konflik bersenjata. Adapun sumber bahan hukum yang digunakan dalam penelitian ini, yaitu terdiri dari bahan hukum primer didapat dari Konvensi Den Haag 1907 tentang alat dan cara berperang, dan Konvensi Jenewa IV tentang perlindungan terhadap warga sipil sebagai korban dari konflik bersenjata. Kemudian bahan hukum sekunder yang didapat dari buku-buku, hasil penelitian sebelumnya, dan pendapat para ahli yang menjelaskan tentang alat, dan cara berperang. Serta bahan hukum tersier, yang merupakan bahan penunjang dan pendukung, yang berupa data-data yang disortir secara akurat dan dapat dipertanggungjawabkan. Teknik pengumpulan bahan hukum yang digunakan dalam penelitian ini adalah dengan studi kepustakaan. Dilakukan dengan cara membaca, menelaah, mencatat, dan membuat usulan bahan pustaka yang ada kaitannya dengan penggunaan drone sebagai senjata yang ditinjau dari Konvensi Den Haag 1907. Selanjutnya Teknik analisis e-Journal Komunikasi Yustisia Universitas Pendidikan Ganesha Program Studi Ilmu Hukum Volume 5 Nomor 1 Maret 2022 5 bahan hukum yang digunakan dalam penelitian ini yaitu teknik deskriptif. HASIL DAN PEMBAHASAN Pengertian dan Sejarah Penggunaan Pesawat Tanpa Awak unmanned aircraft vehicles / drone Pesawat tanpa awak unmanned aircraft vehicles atau yang lebih dikenal dengan istilah drone secara global masih belum memiliki definisi yang pasti dikarenakan dalam menentukan definisi pesawat tanpa awak yang tepat masih bergantung pada penggunaannya yang berbeda-beda. Drone merupakan salah satu pengembangan teknologi perang modern. Saat ini saja, telah terdapat lebih dari model pesawat tanpa awak baik yang telah dipasarkan maupun yang sedang dikembangkan di lebih dari 50 negara Marshall, 2009 694. Penggunaan pesawat tanpa awak bukanlah sebuah konsep yang baru, terutama bagi angkatan militer Amerika. Saat Perang Dunia I dan II, angkatan militer Amerika mencoba mengembangkan program pesawat tanpa awak. Namun program ini tidak berhasil dikembangkan, dikarenakan masih sangat terbatasnya teknologi yang ada saat itu. Akan tetapi dengan perkembangan teknologi yang sangat pesat saat ini, terbuka kemungkinan yang sangat besar bagi negara-negara lain untuk menggunakan drone sebagai senjata, terutama di dalam konflik bersenjata. Teknologi yang berkembang saat ini, secara khusus pada persenjataan, diakui telah memberikan banyak pengaruh yang pesat terhadap perkembangan hukum internasional, tidak terkecuali hukum humaniter internasional. Meskipun di dalam perjalanan dan perkembangannya hukum humaniter internasional selalu berada beberapa langkah di belakang perkembangan teknologi tersebut, seperti halnya terkait dengan pengaturan tentang teknologi penggunaan senjata untuk berperang ada setelah teknologi tersebut ditemukan dan digunakan. Perkembangan teknologi perang selalu mengalami perubahan dari masa ke masa, teknologi drone merupakan salah satu contohnya, dan hal ini memiliki potensi yang besar di masa depan sebagai salah satu senjata utama yang akan digunakan dan dikembangkan oleh banyak negara-negara khususnya negara yang memiliki sumber daya teknologi yang lebih maju, ketika terlibat dalam konflik bersenjata. Namun sampai saat ini belum adanya ketentuan hukum yang secara khusus dan spesifik mengatur tentang penggunaan pesawat tanpa awak sebagai senjata tempur dalam suatu konflik bersenjata, sehingga kondisi ini menyebabkan kerancuan penggunaan pesawat tanpa awak sebagai senjata tempur dalam konflik bersenjata. Penggunaan Pesawat Tanpa Awak dengan Menerapkan Prinsip Proporsionalitas Penggunaan pesawat tanpa awak, dilihat dari beberapa kasus dan fakta yang terjadi sering kali menyebabkan korban sipil berjatuhan. Hal ini dikarenakan nihilnya aturan secara spesifikasi terkait dengan pembuatan dan prosedur penggunaan pesawat tanpa awak tersebut Nurbani, 2017. Prinsip proporsionalitas secara umum sudah diterima sebagai salah satu bagian dalam hukum kebiasaan internasional customary international law. Sehingga setiap negara terikat harus patuh secara penuh terhadap penerapan prinsip proporsionalitas dalam konflik bersenjata. Pesawat tanpa awak harus digunakan secara proporsional dalam konflik bersenjata. Prinsip proporsionalitas wajib diterapkan dalam penggunaan pesawat tanpa awak untuk menghindari korban dari pihak sipil berjatuhan. Pada dasarnya prinsip proporsionalitas mempunyai makna dan arti yang sama dengan keseimbangan, dengan kata lain prinsip ini, harus terjadi keseimbangan antara prinsip kepentingan militer, prinsip kemanusiaan, dan prinsip kesatriaan Haryomataram, 1954 11. Dalam prinsip ini dijelaskan juga bahwa dalam rangka mencapai keberhasilan perang, negara tidak diperkenankan menjadikan e-Journal Komunikasi Yustisia Universitas Pendidikan Ganesha Program Studi Ilmu Hukum Volume 5 Nomor 1 Maret 2022 6 penduduk sipil sebagai target atau tameng dalam permusuhan. Prinsip proporsionalitas ini sudah dikodifikasikan dalam Pasal 51 paragraf 5 huruf b Protokol Tambahan I Tahun 1977 Konvensi Jenewa yang dimana diatur bahwa “Setiap negara dilarang untuk melakukan serangan yang dapat diduga akan menimbulkan kerugian yang tidak perlu berupa jiwa orang-orang sipil, luka-luka di kalangan orang sipil, kerusakan objek-objek sipil, atau gabungan dari semuanya itu yang merupakan hal yang melampaui batas dibandingkan dengan keuntungan militer yang kongkret dan langsung yang diharapkan sebelumnya”. Selain itu prinsip proporsionalitas juga telah diakomodir dalam Pasal 35 ayat 2, Protokol Tambahan I Konvensi Jenewa 1977, yang menyebutkan bahwa “Dilarang menggunakan senjata, proyektil, material dan metode berperang yang menimbulkan luka-luka yang berlebihan dan penderitaan yang tidak perlu. Serta selanjutnya disebutkan pula bahwa dilarang menggunakan alat atau cara berperang yang mengakibatkan atau dapat diperkirakan akan menyebabkan kerusakan yang luas, dan berjangka Panjang terhadap lingkungan hidup”. Prinsip selanjutnya, yang juga merupakan prinsip penting dalam hukum Den Haag dan dianggap dapat memberikan perlindungan hukum terhadap negara yang menderita kerugian dalam peperangan serta dapat melindungi penduduk sipil secara efektif, khususnya terhadap perkembangan teknologi senjata, adalah Prinsip Martens Clause, yang menyebutkan bahwa “Apabila hukum humaniter belum mengatur suatu ketentuan hukum mengenai masalah-masalah tertentu, maka ketentuan yang dipergunakan harus mengacu kepada prinsip-prinsip hukum internasional yang terjadi dari kebiasaan yang terbentuk dari bangsa-bangsa yang beradab dari hukum kemanusiaan serta dari hati nurani masyarakat”. Martens Clause merupakan klausula yang sangat penting, karena dengan mengacu kepada prinsip-prinsip hukum dan kebiasaan internasional yang diakui oleh bangsa-bangsa yang beradab, maka didalam pengaturan sengketa bersenjata tidak hanya mendasar pada hukum humaniter tertulis dalam bentuk perjanjian internasional. Ketentuan dalam Statuta Roma 1998 tersebut juga memberikan persyaratan dapat diterapkannya prinsip proporsionalitas, diantaranya harus terdapat upaya antisipasi untuk mencegah timbulnya korban dari penduduk sipil, dan harus terdapat upaya antisipasi untuk mencapai kepentingan militer. Dalam menggunakan pesawat tanpa awak yang dipersenjatai, sudah menjadi suatu kewajiban bahwa penggunanya harus sejalan dengan prinsip ini, mengingat prinsip ini telah menjadi kebiasaan internasional. Setidaknya terdapat beberapa syarat dalam prinsip proporsional yang harus dipenuhi dalam menggunakan pesawat tanpa awak secara proporsionalitas, antara lain 1. Penduduk sipil harus mendapatkan prioritas utama dalam perlindungan. Pesawat tanpa awak tidak boleh ditujukan langsung dengan sengaja untuk mengarah dan menyerang penduduk sipil maupun orang-orang yang dilindungi menurut hukum humaniter. 2. Penggunaannya harus dilakukan dengan kendali langsung manusia. Meskipun sistem kontrol pesawat tanpa awak dilakukan secara autopilot, pesawat tanpa awak harus dapat secara langsung dikendalikan oleh manusia. Sehingga pesawat tanpa awak harus berada di bawah kendali manusia. 3. Penggunaannya tidak boleh bertentangan dengan aturan dasar hukum humaniter internasional. 4. Penggunaan pesawat tanpa awak dalam pertikaian bersenjata perlu memperhatikan jus add bellum dan jus in bello. Dengan demikian, meskipun perkembangan teknologi militer/senjata belum diatur secara detail dan seluruhnya dalam suatu kodifikasi perjanjian internasional di dalam hukum perang, negara dan masyarakat e-Journal Komunikasi Yustisia Universitas Pendidikan Ganesha Program Studi Ilmu Hukum Volume 5 Nomor 1 Maret 2022 7 internasional memiliki kewajiban untuk mematuhi prinsip-prinsip fundamental dalam hukum humaniter internasional, khususnya prinsip proporsionalitas. Prinsip proporsionalitas dapat dijadikan sebagai sandaran bagi para pihak dalam konflik bersenjata. Selain prinsip proporsionalitas yang harus diterapkan dalam penggunaan drone sebagai senjata, terdapat pula prinsip pembatas yang tercantum dalam ketentuan Pasal 22 Konvensi Den Haag tahun 1907 tentang hukum dan kebiasaan perang di darat yang menyatakan bahwa Dalam setiap konflik bersenjata, hak para pihak dalam konflik untuk memilih metode atau alat perang adalah tidak tak terbatas. Hal ini dilarang untuk mempergunakan senjata, material dan metode perang malam yang menyebabkan luka berlebihan. Jadi menurut prinsip tersebut para pihak yang berkonflik atau berperang mempunyai keterbatasan dalam memilih persenjataan dan metode perang dalam berkonflik. Sedangkan dalam penggunaan pesawat tanpa awak atau drone tersebut bertentangan dengan Pasal 22 Hague Regulation 1907, karena dapat menyebabkan kerusakan yang berlebihan terhadap objek yang menjadi target atau sasaran, sehingga yang menjadi korban bukan hanya dari pihak kombatan saja, namun juga dari pihak warga sipil atau penduduk sekitar sasaran dari serangan tersebut. Penggunaan Drone dalam Konflik Bersenjata Teknologi pesawat tanpa awak ini, memiliki banyak manfaat dan fungsinya, baik itu yang berkaitan dengan militer maupun non-militer. Meskipun demikian tidak dapat dipungkiri bahwa melihat berbagai keunggulan yang dimiliki teknologi tersebut, eksploitasi penggunaannya lebih banyak dilakukan untuk kepentingan militer, khususnya dalam hal persenjataan. Fenomena munculnya teknologi pesawat tanpa awak sebagai senjata tempur dalam konflik bersenjata, merupakan paradigma baru dalam perang. Untuk itulah, pemerintah Amerika Serikat menggunakan drone sebagai senjata dalam konflik bersenjata, untuk mengurangi resiko kematian prajurit mereka dengan dalih bahwa negara Amerika Serikat mempunyai tanggung jawab untuk melindungi seluruh warga negaranya, tanpa terkecuali prajurit yang dikirim ke area konflik bersenjata di dalam maupun di luar negeri. Kondisi ini disatu sisi memang terbukti menguntungkan, karena resiko kematian prajurit dapat diminimalisir, namun di sisi lain efek negatif yang ditimbulkan juga tidak kalah besar. Dalam beberapa laporan yang ditulis oleh beberapa media, menyebutkan bahwa sejak serangan yang diluncurkan pada tahun 2009 samapai pada januari 2013, drone telah membunuh militant sebanyak hingga jiwa. Jumlah serangan melonjak drastis pada tahun 2008 dan terus naik pada tahun 2009. Serangan ini juga merupakan bagian dari kampanye War On Terror. Pada tahun 2009, Philip Alston yang merupakan salah satu agen spesial dari PBB, juga mengatakan bahwa penggunaan drone sebagai senjata oleh Amerika Serikat di Pakistan dalam operasi targeted killing dapat dianggap sebagai pelanggaran terhadap hukum internasional Alston, 2017 205. Tidak hanya itu, di dalam laporannya Philipp Alston juga menyebutkan mengenai kontroversi dari penggunaan pesawat tanpa awak, hal ini dikarenakan penggunaan pesawat tanpa awak atau drone, yang tidak sesuai dan bertentangan dengan hukum humaniter internasional, yang dimana menyebabkan kematian yang tidak seharusnya, dalam hal ini termasuk kematian dari warga sipil dan juga menyebabkan kerusakan yang berlebihan atau Collateral damage. Berdasarkan data yang didapatkan dari The Bureau of Investigative Journalism TBIJ, melaporkan bahwa sejak Juni 2004 hingga pertengahan September 2012, data yang tersedia mengindikasikan bahwa serangan drone telah membunuh sampai orang di Pakistan, e-Journal Komunikasi Yustisia Universitas Pendidikan Ganesha Program Studi Ilmu Hukum Volume 5 Nomor 1 Maret 2022 8 dimana 474 sampai 881 adalah penduduk sipil, termasuk 176 anak-anak. Dan telah melukai sebanyak orang Bachmann, 2013. Dapat dilihat bahwa serangan yang dilakukan oleh Amerika Serikat di Pakistan sampai dengan Januari 2013 sebanyak 350 serangan, dengan perkiraan korban jiwa mencapai orang. Data tersebut, menunjukkan bahwa akibat dari penggunaan drone sebagai senjata yang tidak dapat membedakan target dan sasaran yang ingin dicapai, baik itu kombatan maupun non-kombatan. Dan juga akibat yang ditimbulkan sangat tidak sebanding dengan tujuan utamanya, yaitu membunuh satu orang akan tetapi yang terbunuh dan yang menerima dampaknya bisa beberapa orang. Hal itu tentu saja sangat tidak sesuai dengan prinsip yang ada dalam hukum humaniter internasional, bahkan dapat juga dianggap sebagai pelanggaran terhadap hukum humaniter internasional. Penggunaan drone sebagai senjata dalam konflik bersenjata dilakukan melalui tiga cara yakni sebagai bantuan udara bagi pasukan di darat, melakukan patrol di udara untuk mencari aktivitas dan kegiatan yang mencurigakan, dan melakukan targeted killing terhadap militant yang dicurigai suspected militants. Selain itu terdapat hal yang patut menjadi perhatian tentang penggunaan drone sebagai senjata dalam konflik bersenjata, yaitu tentang tanggung jawab bagi setiap penggunaan serta penyalahgunaannya. Dalam hal ini tentu tanggung jawab pihak sangat diperlukan, terutama tanggung jawab bagi pemberi komando, karena drone tidak bisa diminta pertanggungjawaban atas perbuatannya drone hanya alat yang digunakan dalam perang. Komandan secara komprehensif bertanggungjawab atas segala sesuatu yang terjadi dibawah kesatuannya Anshari, 2005 45. Dalam beberapa aspek drone memang sangat lebih baik dari manusia, seperti dilihat dari segi kuantitas pasukan yang setara dengan drone, kemudian dari segi efektifitas target penyerangan dan daya jelajah yang luas. Akan tetapi juga penggunaan drone sebagai senjata masih lebih berbahaya dari senjata lainnya, hal ini disebabkan karena drone tidak dapat dan tidak mampu membedakan secara pasti mana pihak kombatan dan mana non-kombatan atau warga sipil. Namun pada kenyataannya, drone telah mengakibatkan banyaknya kerugian dan telah menewaskan ratusan orang sipil, sehingga hal ini memicu legalitas penggunaan drone sebagai sebuah terobosan alat tempur saat ini. Belum adanya sebuah protokol maupun konvensi internasional yang secara khusus dan terperinci membahas terkait legalitas daripada penggunaan drone, namum kajian dari akibat yang ditimbulkan menjadi indikasi bahwa dunia internasional membutuhkan sebuah peraturan yang khusus, demi menjaga, mengantisipasi kemungkinan dan memelihara situasi tatanan global yang kondusif dan damai. Pembatasan Penggunaan Senjata Perang dalam Hukum Humaniter Internasional Pada dasarnya hukum humaniter hadir untuk berusaha melindungi orang atau pihak yang tidak terlibat maupun yang terlibat dalam konflik bersenjata dan juga memberikan perlindungan terhadap orang yang terkena dampak dari konflik tersebut. Senjata di dalam peperangan pada dasarnya juga dirancang untuk membunuh atau setidaknya melumpuhkan kekuatan potensial musuh. Kemampuan yang harus dimiliki tentunya memiliki kapabilitas melemahkan atau menghancurkan target serangan secara tepat dan efisien Effendi, 2010 3. Secara umum, senjata yang dilarang penggunaannya oleh hukum humaniter internasional adalah senjata-senjata yang sifatnya indiscriminate tidak pandang bulu atau membabi buta. Sedikitnya ada tiga kriteria indiscriminate weapons, yakni; 1 senjata-senjata yang tidak dapat diarahkan pada suatu sasaran militer tertentu specific military objectives, 2 tidak dapat membedakan antara sasaran e-Journal Komunikasi Yustisia Universitas Pendidikan Ganesha Program Studi Ilmu Hukum Volume 5 Nomor 1 Maret 2022 9 militer dan warga sipil, 3 senjata-senjata yang dampaknya tidak dapat dibatasi sebagaimana diharuskan oleh hukum humaniter internasional Protokol Tambahan I ICRC, 2019. Hukum perang tidak banyak mengatur mengenai alat untuk berperang secara khusus dan spesifik. Secara luas dalam Pasal 22 Hague Regulations dicantumkan prisnsip dari pemakaian senjata. Pasal tersebut menyatakan bahwa hak belligerent untuk memilih alat untuk melukai lawan adalah terbatas. Kemudian dalam Pasal 23 huruf e Hague Regulation Tahun 1907 menyatakan bahwa dilarang untuk menggunakan senjata, peluru, atau alat-alat yang diperkirakan dapat menyebabkan penderitaan yang berlebihan, yang dialami oleh pihak kombatan, maupun pihak non-kombatan. Penjelasan Pasal tersebut mengandung arti bahwa para pihak dalam berperang tidak hanya memperhatikan terkait penggunaan senjata saja, namun juga harus memperhatikan prinsip proporsionalitas yang terdapat dalam hukum humaniter internasional. Dalam hukum humaniter internasional telah merangkum beberapa perjanjian-perjanjian mengenai pembatasan serta larangan menggunakan senjata tertentu dalam konflik bersenjata internasional, baik itu senjata konvensional maupun senjata yang non-konvensional. Namun penjanjian tersebut hanya melarang senjata-senjata secara umum saja. Legalitas Pengembangan Pesawat Tanpa Awak / Drone Sebagai Senjata dalam Hukum Humaniter Internasional Penggunaan pesawat tanpa awak sebagai senjata, memang tidak secara spesifik dijelaskan dalam perjanjian-perjanjian internasional atau aturan hukum lainnya dari hukum humaniter internasional. Akan tetapi penggunaan segala jenis persenjataan harus tunduk pada aturan hukum dalam hukum humaniter internasional. Hal ini menujukan, bahwa ketika menggunakan pesawat tanpa awak sebagai senjata, pihak pengguna dalam hal ini pihak militer harus selalu dapat membedakan antara kombatan dan penduduk sipil, dan antara mana objek militer dan mana objek sipil. Legalitas pengembangan dan penggunaan pesawat tanpa awak sebagai senjata dalam kondisi konflik bersenjata dapat dikaji berdasarkan Pasal 36 Protokol Tambahan I Konvensi Jenewa tahun 1977 yang menyatakan bahwa “Didalam penyelidikan, pengembangan menghasilkan atau mendapatkan suatu senjata baru, alat-alat atau cara peperangan, suatu pihak peserta agung berkewajiban menetapkan apakah di dalam keadaan tertentu atau segala keadaan penggunaannya tidak akan dilarang oleh Protokol ini atau oleh sesuatu peraturan lain dari hukum internasional yang berlaku terhadap Pihak Peserta Agung tersebut”. Pasal 36 tersebut bermaksud untuk menjaga perkembangan dari persenjataan yang digunakan baik oleh negara dan organisasi-organisasi internasional agar tetap menghormati, menjaga, dan tidak melawan batas-batas dari prinsip-prinsip hukum humaniter internasional. Keberadaan pesawat tanpa awak dalam mendukung keberhasilan pertempuran perlu dikaji kedudukannya apakah telah sesuai dengan hukum internasional atau justru melanggarnya. Setiap negara yang mengembangkan teknologi tersebut tentunya memiliki kewajiban untuk mencermati apakah setiap detail penggunaannya telah sesuai dengan hukum humaniter internasional. Meskipun pesawat tanpa awak diciptakan demi kepentingan militer dan untuk memperkuat armada serta alutsista pertahanan suatu negara, namun penggunaannya harus sejalan dengan hukum humaniter. Dalam buku hukum humaniter internasional, Masyhur Effendi menegaskan pentingnya hukum humaniter internasional dalam mengimbangi perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Hal ini dijelaskan bahwa hukum humaniter internasional akan semakin penting di masa-masa mendatang, terutama untuk e-Journal Komunikasi Yustisia Universitas Pendidikan Ganesha Program Studi Ilmu Hukum Volume 5 Nomor 1 Maret 2022 10 mengimbangi perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, termasuk persenjataan modern yang sering digelar dan mengabaikan segi-segi kemanusiaan Effendi, 1994 65. Pengaturan Terkait dan Perlunya Aturan Khusus Penggunaan Drone Sebagai Senjata dalam Konflik Bersenjata Penggunaan pesawat tanpa awak atau drone sebagai senjata dalam konflik bersenjata merupakan akibat dan konsekuensi dari berkembangnya teknologi yang begitu pesat saat ini. Namun sampai saat ini tidak ada satu aturan internasional yang secara khusus mengatur mengenai penggunaan pesawat tanpa awak sebagai senjata militer maupun tidak. Secara fleksibel hukum humaniter internasional bisa diterapkan pada perkembangan teknologi senjata yang sangat maju sekalipun, walaupun hal ini harus tetap didasarkan paada pengaturan dalam Pasal 36 Protokol Tambahan I Konvensi Jenewa tahun 1977 ICRC, 2006. Aturan dalam Pasal 36 ini hanya mengatur mengenai ketentuan secara umum saja, dan tidak secara spesifik mengatur mengenai teknologi atau metode berperang tertentu. Aturan yang telah ada sebelumnya, harus diakui bahwa mungkin saja tidak cukup untuk mengikuti perkembangan teknologi secara spesifik dan juga dampak serta akibat yang ditimbulakn oleh perkembangan teknologi tersebut. Meskipun drone dianggap sebagai senjata yang illegal menurut beberapa pendapat, namun apapun itu penggunaan dan pemanfaatannya harus sesuai dan tunduk pada hukum humaniter internasional. Selain itu hal yang sangat penting dan wajib dilakukan adalah penggunaan drone dalam kekuatan atau konflik bersenjata haruslah memperhitungkan apakah penggunaannya akan mengakibatkan kerugian terhadap warga sipil atau tidak Tanod, 2013 193 Dalam penerapannya aturan khusus mengenai drone memang sangat dipertanyakan keberadaannya, hal ini disebabkan selain dari belum adanya aturan baku yang khusus serta nyata, yang mengatur tentang penggunaan drone sebagai senjata. Hal lain juga dikarenakan saat ini drone memiliki banyak tipe daan spesifik. Menghadapi ketiadaan aturan mengenai penggunaan drone sebagai senjata, dalam skala lokal maupun nasional, maka tidak menutup kemungkinan kedepan penggunaannya tanpa diserta aturan mengenai drone sama sekali. Kekhawatiran ini berdasar karena sejalan dengan amanat dalam Pasal 36 Protokol Tambahan I Konvensi Jenewa tahun 1977, dimana negara diwajibkan untuk mengatur perkembangan teknologi persenjataan dan metode perang terbaru yang dikembangkannya, dalam hal ini negara-negara yang saat ini menggunakan teknologi drone, terutama negara yang menggunakannya sebagai senjata harus merumuskan suatu aturan khusus mengenai penggunaan drone, baik sebagai senjata lethal purpose, maupun yang digunakan untuk kpentingan lainnya non-lethal purpose. Kekosongan aturan hukum yang secara spesifik dan khusus mengatur mengenai penggunaan drone, yang berkaitan dengan penggunaannya sebagai senjata, membuka peluang yang sangat besar terjadinya penyalahgunaan dan pelanggaran-pelanggaran hukum humaniter internasional, ketika drone yang telah dipersenjatai digunakan dalam suatu konflik bersenjata. SIMPULAN DAN SARAN Berdasarkan hasil dan pembahasan yang telah dipaparkan, dapat diformulasikan simpulan sebagai berikut. 1. Penggunaan drone sebagai senjata dalam konflik bersenjata telah menyalahi aturan dasar dari hukum humaniter internasional. Dalam penggunaannya, drone sebagai senjata tidak dapat membedakan secara pasti terkait e-Journal Komunikasi Yustisia Universitas Pendidikan Ganesha Program Studi Ilmu Hukum Volume 5 Nomor 1 Maret 2022 11 target dan sasaran antara kombatan dan non-kombatan, sehingga menimbulkan banyaknya korban sipil yang berjatuhan. Selain itu dalam pelaksanaan penggunaannya drone sebagai senjata belum menerapkan prinsip-prinsip dasar dari hukum hukaniter internasional. 2. Pengaturan yang ada saat ini sudah terlalu tua dan tidak dapat mengikat secara pasti. Penggunaan drone sebagai senjata telah dilakukan tanpa adanya suatu aturan hukum yang memadai mengenai hal ini, Pasal 36 Protokol Tambahan I Tahun 1977 hanya memuat hal yang bersifat umum mengenai perkembangan teknologi persenjataan dan metode berperang, namun tidak secara spesifik mengatur mengenai penggunaan drone. Kekosongan anturan hukum yang secara spesifik dan khusus mengatur mengenai penggunaan drone, yang berkaitan dengan penggunaannya sebagai senjata, hal ini akan membuka peluang yang sangat besar terjadinya penyalahgunaan dan pelanggaran-pelanggaran hukum humaniter internasional. Perkembanga teknologi secara khusus dalam hal persenjataan tidak diikuti dengan perkembangan dari peraturan yang ada. Adapun saran yang dapat diberikan yakni sebagai berikut. 1. Penggunaan pesawat tanpa awak merupakan akibat dari perkembangan teknologi persenjataan. Banyaknya korban yang berjatuhan serta kerusakan yang terjadi akibat pesawat tanpa awak tersebut. Dan hal ini diperparah dengan belum adanya aturan yang pasti dan mengikat mengenai penggunaan drone sebagai senjata. ICRC sebagai organisasi internasional yang memantau perkembangan dalam hukum humaniter internasional, juga belum memiliki pedoman ataupun peraturan terhadap penggunaan drone sebagai senjata, dan hanya memasukkannya kedalam kategori sebagai senjata baru. Maka dari itu, diharapkan PBB sebagai induk dari berbagai organisasi internasional yang tertinggi dapat segera membuat suatu peraturan khusus yang dapat menjamin perlindungan serta dapat memberikan batasan-batasan yang dipadang pantas dalam penggunaan pesawat tanpa awak atau drone sebagai senjata. 2. Penggunaan pesawat tanpa awak sebagai senjata, dalam konflik bersenjata, secara khusus bagi negara-negara yang menggunakan pesawat tanpa awak tersebut sebagai senjata, hendaknya wajib dan tunduk terhadap aturan-aturan dasar dari hukum humaniter internasional yang mengatur tentang penggunaan alat dan metode perang. Penggunaan pesawat tanpa awak dalam perang haruslah juga memperhatikan serta memenuhi prinsip-prinsip dasar dari hukum humaniter internasional. DAFTAR PUSTAKA Alston, Philip. “Report of the Special Repporteur on Extrajudicial, Summary or Arbitrary Executions Study on Tergeted Challenges in International Human Rights Law 3, no. May 2017 205-234. Ambarwati, dkk. 2013, Hukum Humaniter Internasional Dalam Studi Hubungan Internasional, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta. Anggreni, I. A. K. Mangku, D. G. S., & Yuliartini, N. P. R. 2020. Analisis Yuridis e-Journal Komunikasi Yustisia Universitas Pendidikan Ganesha Program Studi Ilmu Hukum Volume 5 Nomor 1 Maret 2022 12 Pertanggungjawaban Pemimpin Negara Terkait Dengan Kejahatan Perang Dan Upaya Mengadili Oleh Mahkamah Pidana Internasional Studi Kasus Omar Al-Bashir Presiden Sudan. Jurnal Komunitas Yustisia, 23, 81-90. Bakry, Umar S. 2019. Hukum Humaniter Internasional Sebuah Pengantar. Jakarta Prenadamedia Group. Benjamin Medea, 2012, Drone Warefare, Killing By Remote Control, Or Books, New York Daniati, N. P. E., Mangku, D. G. S., & Yuliartini, N. P. R. 2021. Status Hukum Tentara Bayaran Dalam Sengketa Bersenjata Ditinjau Dari Hukum Humaniter Internasional. Jurnal Komunitas Yustisia, 33, 283-294. Douglas Marshall, 2009, “Unmanned Aerial Systems and International Civil Aviation Organization Regulations”, 85 Nort Dakota Law Review 693. Erlies Septiana Nurbani, Perkembangan Teknologi Senjata dan Prinsip Proporsionalitas. Jurnal IUS. Vol. V. No. 1 April 2017. GW, R. C., Mangku, D. G. S., & Yuliartini, N. P. R. 2021. Pertanggungjawaban Negara Peluncur Atas Kerugian Benda Antariksa Berdasarkan Liability Convention 1972 Studi Kasus Jatuhnya Pecahan Roket Falcon 9 Di Sumenep. Jurnal Komunitas Yustisia, 41, 96-106. Haryomataram, 1954, Hukum Humaniter, Jakarta CV Rajawali. Heather Hurlburt, “Battlefield Earth”, Democracy, No. 31, Winter 2014 Henckaerts, Jean Marie. “Studi kajian Tentang Hukum Humaniter Internasional Kebiasaan sebuah sumbangan bagi pemahaman dan penghormatan terhadap tertib hukum dalam konflik bersenjata” 87, No. 857 2005. Hutapea, R. U. 2013. 4700 Orang Tewas Akibat Serangan Pesawat Tanpa Awak AS sejak 2004. Detik News 21 Februari 2013. Diakses 23 agustus 2021. ICRC, “A Guide to the Legal Review of New Weapons, Means and Methods of Warfare Measures to Implement Article 36 0f Addition Protocol I of 1977” International Review of the Red Cross, Vol. 88, Desember 2006. ICRC, 2009, ABC Hukum Humaniter Internasional, Jakarta PT Antaresindo Pratama. Ishaq. 2017, Metode Penelitian Hukum dan Penulisan Skripsi, Tesis, Serta Disertasi. Bandung Alfa Beta. Jakob Kellenberger, “International Humanitarian Law and New WeaponTechnologies”, diakses tanggal 25 agustus 2021 Mangku, D. G. S. 2012. Suatu Kajian Umum tentang Penyelesaian Sengketa Internasional Termasuk di Dalam Tubuh ASEAN. Perspektif, 173. Mangku, D. G. S. 2021. Roles and Actions That Should Be Taken by The Parties In The War In Concerning Wound and Sick Or Dead During War or After War Under The Geneva Convention 1949. Jurnal Komunikasi Hukum JKH, 71, 170-178. Masyhur Effendi, 1994, Hukum Humaniter Internasional,Surabaya Penerbit Usaha Nasional Surabaya Indonesia Melzer, N. 2016. International Humanitarian Law A Comprehensive Introduction. Geneva ICRC. Natsri Anshari, 2005. Tanggung Jawab Komando menurut Hukum Internasional dan Hukum Nasional Indonesia, Jurnal Hukum Humaniter. Volume 1. Ulrike Esther Franke, “Drone Strikes, and US Policy The Politics of Unmanned Aerial Vehicles”, Parameters, Vol 44, Spring 2014. e-Journal Komunikasi Yustisia Universitas Pendidikan Ganesha Program Studi Ilmu Hukum Volume 5 Nomor 1 Maret 2022 13 US Government Accountability Office , july 2012, “Non-proliferation Agencies Could Improve Information Sharing and End-Use Monitoring on Unmanned Aerial Vehicle Exports”, diunduh tanggal 27 agustus 2021. Witny Tanod, Analisis Yuridis Terhadap Penggunaan Kekuatan Bersenjata Dengan Menggunakan Pesawat Tanpa Awak Unmanned Drones Dalam Hukum Internasional. Lex Crimen. Vol. 2, No. 1, 2013. ResearchGate has not been able to resolve any citations for this of the Special Repporteur on Extrajudicial, Summary or Arbitrary Executions Study on Tergeted KillingsPhilip AlstonAlston, Philip. "Report of the Special Repporteur on Extrajudicial, Summary or Arbitrary Executions Study on Tergeted Killings." Challenges in International Human Rights Law 3, no. May 2017 Agencies Could Improve Information Sharing and End-Use Monitoring on Unmanned Aerial Vehicle ExportsAnalisis Yuridis US Government Accountability Office, july 2012, "Non-proliferation Agencies Could Improve Information Sharing and End-Use Monitoring on Unmanned Aerial Vehicle Exports", diunduh tanggal 27 agustus 2021. This research seeks to answer the question of how the role of humanitarian law in regulate the development of weapons technology and its relationship with the principle of proportionality. This research is normative research which used statute approach and conceptual approach. War can not be separated from the technology development. Weapons technology development concomitant with the development of human civilization. The basic principle is man use weapons according to his time. Martin van Creveld identifiy the clasification of weapon history into four phases, are age of tools, age of machines, age of system, and age of automation. This development definitely have correlation between the impact of development of weapons technology and human behaviour in more modern weapons systems used in war the more casualties and losses generated by the war. International humanitarian law purposes is to minimize the effects. The principle of proportionality is expected to be the direction for the parties to consider any attack not to be devastating, especially to the civilian although the written humanitarian law haven’t accommodate the use of weapons as the result of war technology development, yet. Discover the world's research25+ million members160+ million publication billion citationsJoin for free PERKEMBANGAN TEKNOLOGI SENJATA DAN PRINSIP PROPORSIONALITASTHE DEVELOPMENT OF WEAPON TECHNOLOGY AND PRINCIPLE of PROPORTIONALITY Erlies Septiana Nurbani Faculty of Law, University of Mataram Email diterima 10/03/2017; revisi 25/03/2017; disetujui 27/04/2017 “Saat teknologi semakin canggih, tak ada yang namanya perang. Yang ada hanyalah bunuh diri dengan seketika. Anda menghancurkan lawan anda dalam satu detik, dan musuh andapun menghan-curkan anda disaat bersamaan.” AnonimAis research seeks to answer the question of how the role of humanitarian law in regulate the development of weapons technology and its relationship with the principle of proportionality. is research is normative research which used statute approach and conceptual approach. War can not be separated from the technology development. Weapons technology development concomitant with the development of human civilization. e basic principle is man use weapons according to his time. Martin van Caravel identify the classication of weapon history into four phases, are age of tools, age of machines, age of system, and age of automation. is development denitely have correlation between the impact of development of weapons technology and human behaviour in war. e more modern weapons systems used in war the more casualties and losses generated by the war. International humanitarian law purposes is to minimize the eects. e principle of proportionality is expected to be the direction for the parties to consider any attack not to be devastating, especially to the civilian although the written humanitarian law haven’t accommodate the use of weapons as the result of war technology development, yet. Keywords Principle of Proportionality, War and WeaponATujuan penelitian ini adalah untuk menjawab pertanyaan bagaimana peran hukum humaniter dalam mengatur perkembangan teknologi senjata dan hubungannya dengan prinsip proporsional. Penelitian ini adalah penelitian normatif yang menggunakan pendekatan perundang-undangan dan pendekatan konseptual. Perang tidak dapat dipisahkan dengan perkembangan teknologi. Perkembangan teknologi senjata beriringan dengan perkembangan manusia. Pada prinsipnya, manusia menggunakan teknologi tergantung pada zamannya. Martin van Creveld mengidentikasi pembabakan sejarah persenjataan ke dalam empat fase yaitu age of tools, age of machine, age of system, dan age of automation. Perkembangan ini sudah pasti memiliki korelasi antara dampak perkembangan teknologi dengan perilaku manusia dalam berperang. Semakin modern sistem persenjataan yang digunakan dalam perang semakin banyak korban dan kerugian yang dihasilkan oleh perang tersebut. Hukum humaniter internasional bertujuan untuk mengurangi dampak perang. Prinsip proporsionalitas diharapkan dapat menjadi panduan bagi para pihak bahwa serangan tidak menyengsarakan, khususnya bagi penduduk sipil, meskipun hukum humaniter tertulis belum mengakomodir penggunaan senjata yang dihasilkan oleh perkembangan teknologi perang terbaru. Kata Kunci Prinsip Proporsionalitas, Perang dan Senjata. Jurnal IuS Vol V Nomor 1 April 2017 hlm, 14 Kajian Hukum dan KeadilanIUS 14~29PENDAHULUANPerang adalah sebuah kondisi yang san-gat sulit untuk di hilangkan. Upaya untuk menghapus perang dari muka tidak mung-kin berhasil untuk dilakukan. Namun yang dapat dilakukan adalah mengurangi pend-eritaan yang diakibatkan oleh perang den-gan cara mengatur perang dengan sebuah aturan/hukum. Hukum yang dimaksud adalah hukum humaniter internasional, atau yang dahulu dikenal dengan hukum perang. Menurut Mochtar Kusumaatmadja, hukum humaniter internasional adalah ba-gian dari hukum internasional yang men-gatur ketentuan-ketentuan perlindungan korban perang, berlainan dengan hukum perang yang mengatur perang itu sendiri dan segala sesuatu yang menyangkut cara melakukan perang itu Black’s Law Dictionary mendefinisikan hukum humaniter internasional adalah “law dealing with such matters as the use of weapons and other means of warfare, the treatment of war victims by the enemy and generally the direct impact of war on human life and liberty”.2 Terjemahan bebasnya adalah “hukum perang adalah hukum yang berkaitan dengan penggunaan senjata pada saat perang, perlakuan terhadap korban-korban perang oleh musuh dan secara umum adalah mengenai dampak perang terhadap hidup dan kebebasan manusia”.Perserikatan Bangsa-Bangsa PBB telah menentukan bahwa perang adalah cara atau metode terakhir last resort yang dapat digunakan oleh para pihak untuk menyelesaikan sengketa diantara mereka sebagaimana yang tercantum dalam Pasal 2 ayat 4 Piagam PBB yang menyatakan bahwa “all members shall refrain in their international relations from the threat or 1 Mochtar Kusumaatmadja dalam Arlina Permanasa-ri, Aji Wibowo et all, Pengantar Hukum Humaniter In-ternasional, International Committee the of Red Cross, Jakarta, 1990, hlm. 5. 2 HC Black, Blacks Law Dictionary, St Paul MinWest Publishing Co, USA, 1990 page 170. use of force against the territorial integrity or political independence of any state or any other manner inconsistent with the purpose of the United Nations”. Hukum perjanjian mengenai humaniter internasional yang ada saat ini merupakan produk hukum yang lahir sejak era perang dunia pertama dan perang dunia kedua, seperti Deklarasi St. Petersburg 1868, Konvensi Den Haag 1899 dan 1907, Konvensi Jenewa 1949 dan Protokol Tambahan 1977. Hal demikian menyebabkan hukum humaniter internasional belum dapat mencakup seluruh perkembangan teknologi yang lahir setelah Perang Dunia Kedua, khususnya perkembangan teknologi yang semakin pesat sejak Abad ke 20. Dinamika perkembangan teknologi sen-jata beriringan dengan perkembangan per-adaban manusia. Prinsip dasarnya adalah manusia menggunakan senjata dalam ber-perang sesuai dengan jamannya. Martin van Creveld mengidentifikasi pembabakan sejarah persenjataan ke dalam empat fase yaitu age of tools, age of machine, age of sys-tem, dan age of automation3. Perkembangan ini sudah pasti memiliki korelasi antara dampak perkembangan teknologi persen-jataan itu sendiri dan perilaku manusia dalam berperang. Negara-negara besar sep-erti Amerika Serikat, Rusia dan Uni Eropa merupakan negara yang aktif dalam melak-sanakan pengembangan teknologi di bidang persenjataan. Teknologi perang yang berkembang saat ini seringkali dihadapkan pada persoalan bahwa teknologi yang digunakan seringkali menyebabkan penderitaan yang tidak perlu unnecessary suffering, sebagaimana yang tercantum dalam prinsip proporsionalitas. Prinsip proporsionalitas bertujuan agar perang atau penggunaan senjata tidak menimbulkan korban, kerusakan dan 3 Viotti and Kauppi dalam Irmawan Effendi, Clus-ter Bom dan Teori Just War Perlindungan Sipil dalam Perang, Jurnal ISIP, Volume IX Nomor 1, Januari-Juni 2010, hlm 19. 15 Kajian Hukum dan Keadilan IUSErlies Septiana NurbaniPerkembangan Teknologi Senjata Dan Prinsip Proporsionalitas............penderitaan yang berlebihan yang tidak berkaitan dengan tujuan-tujuan militer the unnecessary suffering principles. Prinsip ini tercantum dalam Pasal 35 ayat 2 Protokol Tambahan I “It is prohibited to employ weapons, projectiles and material and methods of warfare of a nature to cause superfluous injury or unnecessary suffering”. Aturan dasar tersebut melarang penggunaan senjata, proyektil dan metode berperang yang menyebabkan luka yang berlebihan atau penderitaan yang tidak semestinya/perlu. Peran hukum humaniter sangat diperlukan dalam menghadapi perkemba-ngan teknologi perang. Prinsip utama dalam penggunaan senjata sebagaimana diatur dalam hukum humaniter adalah bahwa selama terjadinya perang, nilai-nilai ke manusiaan harus tetap dihormati. Tujuannya bukan untuk menolak hak negara untuk melakukan perang atau menggunakan kekuatan senjata untuk mempertahankan diri self defence, melainkan untuk membatasi penggunaan senjata oleh suatu negara dalam menggunakan hak berperang tersebut untuk mencegah penderitaan dan kerusakan yang berlebihan dan yang tidak sesuai dengan tujuan militer. Berdasarkan latar belakang di atas, untuk membatasi pembahasan dalam artikel ini maka ada beberapa hal yang perlu mendapat perhatian kita bersama a. Bagaimanakah perkembangan teknologi senjata saat ini? b. Bagaimanakah hubungan antara prinsip proporsionalitas dan perkembangan teknologi senjata? Penelitian ini merupakan penelitian normative dengan menggunakan pendeka-tan peraturan perundang-undangan stat-ute approach dan pendekatan konseptual conceptual approach. Statute approach adalah pendekatan yang beranjak dari peraturan perundang-undangan dalam penelitian ini adalah konvensi atau perjan-jian internasional yang berkaitan dengan permasalahan yang di hadapi. Conceptual approach adalah pendekatan yang beranjak dari pandangan-pandangan dan doktrin-doktrin yang berkembang di dalam khazanah hukum humaniter inter-nasional. Dengan mempelajari pandangan-pandangan dan doktrin-doktrin peneliti akan menemukan ide-ide yang melahir-kan pengertian-pengertian, konsep-konsep dan asas-asas hukum yang relevan den-gan isu yang di hadapi. Pemahaman atas pandangan-pandangan dan doktrin-doktrin tersebut merupakan sandaran bagi peneliti dalam membangun suatu argumentasi hukum guna memecahkan permasalahan yang dihadapi. Sumber data adalah data kepustakaan yang dianalisis dengan meng-gunakan teknik dokumentasi yaitu meng-kaji berbagai referensi baik peraturan perundang-undangan maupun buku-buku literatur yang ada relevansinya dengan per-masalahan yang diangkat. Sebelum menjawab permasalahan dalam artikel ini, perlu untuk disampaikan be-berapa teori-teori umum yang berkaitan dengan objek penelitian. Teori berfungsi sebagai alat prediction dan control bagi peneliti, sehingga peneliti memiliki skill untuk menggali data secara lengkap, men-dalam serta melakukan konstruksi ter hadap hasil penelitian. Oleh karena itu, penulis mengutip beberapa definisi dan teori Hukum Humaniter Internasional Pada Umumnya Masyarakat internasional sebenarnya telah sepakat bahwa perang sebagai usaha terakhir untuk menyelesaikan sengketa harus dihindari, sebagaimana yang ter-cantum dalam Pasal 2 ayat 4 Piagam PBB. Namun, sebagaimana fakta yang ditunjukkan selama ini, melarang perang merupakan suatu keniscayaan yang hanya dapat dilakukan adalah mengatur perang. Jurnal IuS Vol V Nomor 1 April 2017 hlm, 16 Kajian Hukum dan KeadilanIUS 16~29Usaha masyarakat internasional untuk mengatur perang telah sama tuanya dengan perang itu sendiri. Sebagai contoh, filsuf asal China bernama Sun Tzu 298-238 SM pernah mengeluarkan peraturan lengkap tentang peperangan. Demikian pula di za-man Hindia Kuno, ada ketentuan yang ditu-angkan dalam Laws of Manu. Kedua aturan tersebut selalu memasukkan pentingnya memperhatikan unsur kemanusiaan dalam perang. Walaupun telah ada aturan-aturan tersebut, tidak mengurangi kejamnya per-ang terhadap kehidupan Islam sendiri telah mengatur pelaksanaan peperangan5. Nabi Muhammad SAW menunjukkan bahwa selama peperangan perlindungan terhadap wanita, anak kecil dan orang tua adalah suatu kewajiban. Ajaran Islam tentang perang bisa dilihat dalam Al-Qur’an surat al-Baqarah ayat 190-191 dan 208, surat Al-Anfal ayat 39, surat At-Taubah ayat 5, dan surat al-Haj ayat 39, yang memandang perang sebagai sarana pembelaan diri dan menghapuskan kemungkaran. Perkembangan dalam hukum humaniter dimulai oleh sebuah buku yang berjudul Un Souvenirde Solverino yang dibuat oleh Henry Dunant. Buku tersebut menceritakan pengalaman penulisnya pada perang di Solferino Italia Utara pada tahun 1859. Dalam peperangan tersebut, banyak korban sipil yang memerlukan pertolongan. Buku itu mempengaruhi orang untuk berfikir pentingnya mengatur perlindungan bagi yang terluka saat perang. Pengaruh dari buku ini meyakinkan ma-syarakat internasional untuk mendirikan 4 Sri Setianingsih Suwardi, Serangan Israel Terhadap Lebanon Dikaitkan dengan Prinsip-Prinsip Hukum Hu-maniter, Indonesian Journal of International Law, Vol-ume 4 Nomor 1 Oktober 2006, Dalam perspektif Islam, perang tidak akan terjadi kecuali untuk menghentikan serangan musuh atau mempertahankan kebenaran permanen sesuai perjanji-an yang dilanggar pihak musuh atau untuk pengamanan jalannya kebebasan beragama. Lebih lanjut lihat Zayyid bin Abdel Karim al Zayyid, Pengantar Hukum Human-iter Internasional dalam Islam, ICRC, 2008. organisasi internasional yang netral, yang akan memberikan pertolongan bagi korban perang. Pada tahun 1863, berdirilah Inter-national Committee of the Red Cross ICRC dan tahun 1864 diadakan Konferensi Inter-nasional di Jenewa, Swiss yang menghasil-kan Convention on the Arneliration of the Condition of the Wounded in Armies in the Field. Konvensi ini dikenal dengan Konven-si Jenewa I. Konvensi Jenewa II yang ditan-datangani pada tahun 1899 yang bernama Convention for the Armelioration of the Con-dition of the Wounded, Sick and Shipwrecked Members of Armed Forces at Sea. Pada tahun 1929, Konvensi Jenewa I diamandemen dan sekaligus dihasilkan Konvensi Jenewa III, Convention Relative to the Treatment of Prisoners of War. Pada tahun 1949, ketiga Konvensi itu diamandemen dan sekaligus dihasilkan Konvensi Jenewa IV, Convention to the Protective of Civilian Usaha masyarakat internasional untuk membuat rambu-rambu dalam peperangan kemudian dilanjutkan dengan Konferensi Perdamaian di Den Haag tahun 1899 dan 1907. Konferensi Perdamaian di Den Haag mengatur mengenai peperangan secara terperinci, baik peperangan di darat maupun peperangan di laut. Konferensi tersebut menghasilkan 13 konvensi, dari ketiga belas konvensi yang terpenting dalam kaitannya dengan hukum humaniter adalah Konvensi ke IV yaitu The Law and Customs of War on Land. Konvensi ke IV ini sering disebut dengan Hague Regulation HR. HR ini memberikan batasan yang lebih tegas terhadap pemakaian alat dan metode berperang. Aturan-aturan yang disebutkan di atas tadi adalah rambu-rambu yang disepakati oleh masyarakat internasional, agar pihak yang berperang memperhatikan dan menaati aturan-aturan yang telah disepakati. Sehingga, tujuan hukum perang itu dapat tercapai. Adapun tujuan dari hukum 6 Ibid. 17 Kajian Hukum dan Keadilan IUSErlies Septiana NurbaniPerkembangan Teknologi Senjata Dan Prinsip Proporsionalitas............humaniter menurut Mohammed Bedjaoui adalah tidak dimaksud kan untuk melarang perang tetapi adalah untuk memanusiakan Adapun tujuan hukum humaniter menurut berbagai literatur yang ada, yaitu8 1. Memberikan perlindungan terhadap kombatan maupun penduduk sipil dari penderitaan yang tidak perlu unnecessary suffering2. Menjamin hak asasi manusia yang sangat fundamental bagi mereka yang jatuh ke tangan musuh. Kombatan yang jatuh ke tangan musuh harus dilindungi dan dirawat serta berhak diperlakukan sebagai tawanan perang. 3. Mencegah dilakukannya perang secara kejam dan tanpa batas. Berdasarkan tujuannya, hukum human-iter mengatur dua hal pokok yaitu91. Memberikan alasan bahwa suatu perang dapat dijustifikasi yaitu bahwa perang adalah pilihan terakhir the last resort, sebab atau alasan yang benar just cause, didasarkan atas mandat politik keputusan politik, political authority yang demokratis, dan untuk tujuan yang benar right intention; 2. Membatasi penggunaan kekuatan bersen-jata dalam peperangan atas dasar prinsip proporsionalitas dan diskriminasi pro-portionality dan discrimination. Dua hal pokok ini yang kemudian menjadi dasar prinsip pertanggungjawaban komando command responsibility yaitu bahwa seorang komandan mempunyai tanggung jawab untuk menegakkan hukum konflik bersenjata atau hukum perang atas dasar dua hal pokok tersebut di Mohammad Bedjaoui, Modern Wars Humanitari-an Challenge A Report for the Independent Commission on International Humanitarian Issues, Zed Books, Ltd. London, 1986. Hlm. Frederic de Mullinen, Handbook on the Law of War for Armed Forces, ICRC, Geneva, 1987, page 2. 9 Ibid. Prinsip-Prinsip Hukum Humaniter In-ternasionalSelain bersandar kepada aturan-aturan yang telah disepakati, perang yang dilaku-kan oleh negara baik yang bersifat inter-nasional maupun non-internasional, juga harus memperhatikan prinsip-prinsip yang mendasar dari hukum humaniter interna-sional. Prinsip-prinsip Hukum Human-iter Internasional yang harus diperhatikan adalah 1. Prinsip Kemanusiaan Principle of Hu-manity Prinsip kemanusiaan ini menentukan bahwa pihak yang berperang di wajibkan untuk berperilaku memperhatikan kema-nusiaan, dimana mereka dilarang meng-gunakan kekerasan yang dapat menim-bulkan penderitaan yang berlebihan. Individu mempunyai hak untuk dihormati hidupnya, integritasnya baik fisik maupun moral dan atribut yang melekat pada per-sonalitasnya. 2. Prinsip Pembedaan Distinction Principle Prinsip ini mengatakan bahwa pada waktu terjadi perang/konflik\bersenjata harus dilakukan pembedaan antara penduduk sipil “civilian” di satu pihak dengan “combatant” atau antara objek sipil di satu pihak dengan objek militer di lain pihak. Berdasarkan prinsip ini, hanya kombatan dan objek militer yang boleh terlibat dalam perang dan dijadikan sasaran. Prinsip pembedaan ini diatur dalam Konvensi Den Haag 1907 walaupun tidak secara eksplisit, namun secara implisit dapat kita temukan dalam Konvensi IV, khususnya dalam Hague Regulation, juga terdapat dalam Konvensi Jenewa, Pasal 13 Konvensi I dan II, Pasal 4 Konvensi III dan IV. Dalam Pasal 43 Protokol Tambahan 1977, istilah kombatan dinyatakan secara tegas, yaitu Jurnal IuS Vol V Nomor 1 April 2017 hlm, 18 Kajian Hukum dan KeadilanIUS 18~29“angkatan perang terdiri dari semua angkatan bersenjata yang terorganisasi, kelompok group dan kesatuan units yang terorganisasi, yang berada di bawah pimpinan/komando yang bertanggung jawab kepada pihak tersebut atas kelakuan dan tingkah laku mereka”. 3. Prinsip Proporsionalitas Proportionality Principle Prinsip proporsionalitas adalah “prinsip yang diterapkan untuk membatasi kerusakan yang disebabkan oleh operasi militer dengan mensyaratkan bahwa akibat dari sarana dan metode berperang yang digunakan tidak boleh tidak proporsional harus proporsional dengan keuntungan militer yang diharapkan.” 4. Prinsip Larangan Untuk Menyebabkan Penderitaan yang Tidak Seharusnya Principle of Prohibition of Causing Unnecessary Suffering Prinsip ini sangat erat kaitannya dengan prinsip kemanusiaan. Pihak yang bersengketa dilarang menggunakan kekerasan yang dapat menyebabkan penderitaan yang berlebihan dan penderitaan yang tidak perlu. Masyarakat internasional memahami bahwa walaupun perang dapat dipakai sebagai cara untuk menyelesaikan sengketa, namun hak pihak yang bersengketa dalam menggunakan sarana dan metode perang dan tidak tak terbatas is not unlimited. Para pihak yang berperang memiliki keterbatasan dalam memilih alat dan metode berperang. Para pihak tidak dapat menggunakan senjata yang dapat menyebabkan penderitaan yang berlebihan superfluos injury atau penderitaan yang tidak perlu unnecessary suffering. 5. Prinsip Kepentingan Militer Military Neccesity PrinciplePrinsip kepentingan militer seb-agaimana didefinisikan oleh ICRC, “mili-tary necessity expresses the idea that the use of force must be provided for and recognized in law. The force used must take into account the principle of proportionality. The main con-cern of humanitarian law is to find a balance between military necessity and humanitar-ian demands”.10 Terjemahan bebasnya, “kepentingan militer menunjukkan ide bahwa penggunaan senjata harus dise-diakan dan diakui dalam hukum. Senjata yang digunakan harus mempertimbang-kan prinsip proporsionalitas. Perhatian utama hukum humaniter adalah untuk menemukan keseimbangan antara kepent-ingan militer dan kemanusiaan”. Prinsip ini menekankan bahwa para pihak dalam penggunaan kekuatan militer harus sah menurut hukum. Dalam menggunakan kekerasan, hal yang harus diperhitung-kan adalah prinsip proporsionalitas dan keseimbangan antara kepentingan militer dan kemanusiaan. Sumber-sumber Hukum Humaniter In-ternasionalBerbagai konvensi internasional yang mengatur mengenai hukum humaniter dapat dibedakan menjadi dua yaitu Hukum Den Haag dan Hukum Jenewa. Sebagaimana diketahui, bahwa Hukum Den Haag adalah hukum yang mengatur mengenai alat dan cara berperang sedangkan Hukum Jenewa mengatur mengenai perlindungan terhadap korban perang. Pembagian hukum humaniter ke dalam Hukum Den Haag dan Hukum Jenewa, dewasa ini tidak dapat dipisahkan secara rigid. Karena kenyataannya, suatu perjanjian tertentu sering kali berisi ketentuan-ketentuan yang merupakan Hukum Den Haag dan Hukum Jenewa. 1. Hukum Den Haag Hukum Den Haag merupakan keten-tuan hukum humaniter yang mengatur 10 Ibid. Page 4. 19 Kajian Hukum dan Keadilan IUSErlies Septiana NurbaniPerkembangan Teknologi Senjata Dan Prinsip Proporsionalitas............cara dan alat berperang. Hukum Den Haag bersumber dari hasil-hasil Konferensi Per-damaian I yang diadakan pada tahun 1899 dan Konferensi Perdamaian II yang dia-dakan pada tahun 1907. Di samping itu ada beberapa instrumen hukum human-iter yang dibuat setelah dua konferensi perdamaian tersebut yang juga termasuk dalam kelompok Hukum Den Haag, mis-alnya Konvensi-konvensi tentang Senjata Konvensional tahun 1980. a. Konvensi-Konvensi Den Haag 1899 Konvensi-konvensi Den Haag tahun 1899 merupakan hasil Konferensi Per-damaian I di Den Haag 18 Mei - 29 Juli 1899. Dalam konferensi perdamaian ini dihasilkan tiga konvensi dan tiga deklarasi. Adapun tiga konvensi yang dihasilkan adalah1 Konvensi I tentang Penyelesaian Damai Persengketaan Konvensi II tentang Hukum dan Kebiasaan Perang di Konvensi III tentang Adaptasi Asas-asas Konvensi Jenewa Tang-gal 22 Agustus 1864 tentang Hukum Perang di Laut Sedangkan tiga deklarasi yang dihasil-kan adalah 1 Deklarasi tentang larangan penggu-naan peluru-peluru dum-dum pel-uru-peluru yang bungkusnya tidak sempurna menutup bagian dalam sehingga dapat pecah dan mem besar dalam tubuh manusia.2 Deklarasi tentang larangan pe-luncuran proyektil-proyektil dan bahan-bahan peledak dari Deklarasi tentang larangan peng-gunaan proyektil-proyektil yang menyebabkan gas-gas cekik dan Konvensi-Konvensi Den Haag Tahun 1907 Konvensi-Konvensi ini adalah meru-pakan hasil Konferensi Perdamaian Ke II yang merupakan kelanjutan dari Konferensi Perdamaian I Tahun 1899 di Den Haag. Konvensi-konvensi yang dihasilkan oleh Konferensi Perdamaian II di Den Haag adalah sebagai berikut 1 Konvensi I tentang Penyelesaian Damai Persengketaan Internasion-al;2 Konvensi II tentang Pembatasan Kekerasan Senjata dalam Me-nuntut Pembayaran Hutang yang berasal dari Perjanjian Perdata;3 Konvensi III tentang Cara Me-mulai Permusuhan;4 Konvensi IV tentang Hukum dan Kebiasaan Perang di Darat yang dilengkapi dengan Regulasi Per-aturan Den Haag;5 Konvensi V tentang Hak dan Ke-wajiban Negara dan Orang-orang Netral dalam Perang di darat;6 Konvensi VI tentang Status Kapal Dagang Musuh pada saat Per-mulaan Peperangan;7 Konvensi VII tentang Pengubahan Kapal Dagang menjadi Kapal Perang;8 Konvensi VIII tentang Penempatan Ranjau Otomatis di dalam laut;9 Konvensi IX tentang Pemboman oleh Angkatan Laut di waktu Per-ang;10Konvensi X tentang Adaptasi Asas-asas Konvensi Jenewa ten-tang perang di laut;11 Konvensi XI tentang Pembatasan Tertentu terhadap Penggunaan Hak Penangkapan dalam Perang di Laut Jurnal IuS Vol V Nomor 1 April 2017 hlm, 20 Kajian Hukum dan KeadilanIUS 20~29Bersenjata Internasional Protocol Additional to the Geneva Convention of 12 August 1949, And Relating to the Protections of Victims of International Armed Conflict, selanjutnya disebut Protokol I; danb. Protokol Tambahan Pada Konvensi-konvensi Jenewa tahun 1949 yang Mengatur tentang Perlindungan Korban Sengketa Bersenjata Non-Internasional Protocol Additional to the Geneva Convention of 12 August 1949, And Relating to the Protections of Victims of Non-International Armed Conflict selanjutnya disebut Protokol Teknologi Perang Saat Ini Dalam sejarah, perang sudah dikenal bahkan sebelum adanya peradaban. Di dalam bukunya, Lawrence mengatakan bahwa dalam penelitian arkeologi telah ditemukan berbagai bukti konflik bersenjata antar suku yang terjadi pada masa prehistoric, antara lain bukti fosil manusia pada masa itu yang mati terbunuh karena perang, senjata-senjata serta lukisan-lukisan batu di dalam gua yang menceritakan pertempuran. Bukti lain menunjukkan bahwa separuh kerangka dalam Nubian, sebuah kuburan prasejarah yang berusia tahun, mereka tewas karena kekerasan yang menggunakan di dalam peperangan pada dasarnya dirancang untuk membunuh atau setidaknya melumpuhkan kekuatan potensial musuh. Kemampuan yang harus di miliki tentunya memiliki kapabilitas melemahkan atau menghancurkan target serangan secara tepat dan Per-11 War Before Civilization, diakses pada tanggal 8 Februari 201712 Irmawan Effendi, Cluster Bom dan Teori Just War Perlindungan Sipil dalam Perang, Jurnal ISIP, Volume 12 Konvensi XII tentang Pembentu-kan suatu Mahkamah Internasion-al tentang penyitaan contraband perang barang selundupan untuk kepentingan perang; 13Konvensi XIII tentang Hak dan Kewajiban Negara Netral dalam Perang di Hukum JenewaHukum Jenewa, yang mengatur mengenai perlindungan korban perang, terdiri atas beberapa perjanjian pokok yaitu empat Konvensi-konvensi Jenewa 1949, yang masing-masing adalah a. Konvensi Jenewa tahun 1949 tentang Perbaikan Keadaan Anggota Angkatan Perang Yang Luka dan Sakit di Medan Pertempuran Darat Geneva Convention for the Amelioration of the Condition of the Wounded and Sick in Armed Force in the Field;b. Konvensi Jenewa tahun 1949 tentang Perbaikan Keadaan Anggota Angkatan Perang Di Laut Yang Luka, Sakit dan Korban Karam Geneva Convention for the Amelioration of the condition of the Wounded, Sick and Shipwrecked Members of Armed Forces at Sea;c. Konvensi Jenewa tahun 1949 tentang Perlakuan Terhadap Tawanan Perang Geneva Convention relative to the Treatment of Prisoners of War;d. Konvensi Jenewa tahun 1949 tentang Perlindungan Orang-orang Sipil di Waktu Perang Geneva Convention relative to the Protection of Civilian Persons in Time of War.Keempat Konvensi Jenewa tahun 1949 tersebut pada tahun 1977 dilengkapi dengan 2 Protokol Tambahan yakni a. Protokol Tambahan Pada Konvensi Jenewa tahun 1949 yang mengatur tentang Perlindungan Korban Sengketa 21 Kajian Hukum dan Keadilan IUSErlies Septiana NurbaniPerkembangan Teknologi Senjata Dan Prinsip Proporsionalitas............kembangan senjata dan unsur pendukung-nya tidak dapat dilepaskan dari perkemban-gan ilmu pengetahuan dan teknologi. Hal ini senada dengan apa yang disampaikan oleh Terrence Taylor13 bahwa sebagai proposisi umum, ilmu pengetahuan dan teknologi diasosiasikan dengan produksi senjata, amunisi dan berbagai bentuk metode penyampaian tidak memprovokasi konflik bersenjata. Politik, historis dan ekonomi serta berbagai alasan lainnya dapat mengarah pada lahirnya konflik bersenjata, tapi tidak demikian senjata dan teknologi. Bagaimanapun, teknologi dan senjata dapat mempengaruhi atau bahkan menentukan jalannya konflik bersenjata, mempengaruhi kombatan dan penduduk sipil, berdampak pada lingkungan dan bahkan menentukan hasil dari peperangan. Senjata dan teknologi memiliki pengaruh yang sangat baru menunjukkan bah-wa dalam masalah-masalah internasional yang makin kompleks, penggunaan senjata tertentu atau cara berperang tertentu diang-gap illegal atau bertentangan dengan prin-sip-prinsip kemanusiaan atau paling tidak menjadi perdebatan, meskipun hal itu be-lum atau tidak diatur dalam ketentuan hu-kum internasional yang sudah ada tentang penggunaan Hal ini didasarkan atas argumen bahwa “In any armed con-flict, the right of the Parties to the conflict to choose methods or means of warfare is not un-limited” yang artinya bahwa dalam setiap sengketa bersenjata, hak para pihak yang terlibat dalam sengketa untuk memilih cara dan alat berperang adalah tidak tak terbatas terbatas. IX Nomor 1, Januari-Juni 2010, hlm 20. 13 Terence Taylor adalah anggota Directing Staff of the International Institute for Strategic Studies IISS dan President dan Direktur Eksekutif IISS Amerika Serikat dalam ICRC Review, Means of Warfare, Volume 87 Num-ber 859 September 2005, 14 Interview dilakukan oleh Toni Pfanner Editor in Chief of the International Review of the Red Cross pada 22 November 2005 dalam Ibid. Page 420. 15 Irmawan Effendi, perkembangan senjata yang terjadi khususnya setelah perang dingin, yaitu16 1. Railgun Senjata yang memanfaatkan prinsip yang mengakselerasikan sasaran secara elektronik dengan interval 2 buah rel logam. Senjata ini mengubah energi listrik menjadi tekanan magnetis, dan melontarkan muatan terarah ke sasaran dengan tingkat kecepatan mendekati kecepatan suara. Tembakan dari senjata ini, memiliki kekuatan yang sanggup menembus berlembar-lembar lempeng baja nikel chrome molybdenum setebal 5 cm bila tidak memiliki masalah pada kepadatan badan peluru. 2. Sistem Senjata Sunyi DREADBayangkan pistol tanpa perlu kokang, tidak ada suara, tidak panas, mesiu, dan tidak ada penghentian atau kemacetan apapun. Sekarang bayangkan bahwa senjata ini bisa menembakkan proyektil kaliber 0,308 kaliber .50 logam secara akurat sampai dengan fps kaki per detik, menampilkan sebuah variabel tak terhingga dan mampu meletakkan bidang 360-derajat api. Sistem ini memiliki kemampuan menembakkan 120 ribu peluru per menit. 3. Aurora ExcaliburSenjata ini merupakan pesawat tak berawak yang beroperasi dengan lepas landas dan mendarat secara vertikal. Pesawat ini dapat mencapai kecepatan 460 mph 740 kmh dan dapat membawa misil untuk ditembakkan. Pesawat ini bisa melakukan semua hal itu melalui remote control. Excalibur berhasil diuji pada Juni Peluncur Granat XM-25. 16 10 Senjata Tercanggih di Dunia, Diakses pada tanggal 8 Februari 2017. Jurnal IuS Vol V Nomor 1 April 2017 hlm, 22 Kajian Hukum dan KeadilanIUS 22~29Senjata ini mampu menembakkan 25 granat pada jarak apa pun, jarak dapat diatur dan diprogram pengguna. Senjata baru ini menggabungkan kemampuan menembak dan komputer. 5. Cluster Bomb17Salah satu teknologi persenjataan yang digunakan di dalam perang, men-datangkan ancaman terhadap keamanan masyarakat sipil. Senjata jenis ini mam-pu mengeluarkan bom-bom kecil yang menyebar ke wilayah sasaran. Hal yang berbahaya dari senjata ini adalah kega-galan bom-bom kecil yang tidak meledak pada saat bersamaan jatuh di sasaran. Jeda waktu peluncuran dan kegagalan ledakan ini bisa mengenai masyarakat sipil yang beraktivitas di wilayah tersebut sedangkan target serangan sudah yang dikembangkan seharus-nya mengikuti konsep Jus in bello, bahwa perang harus dilaksanakan sesuai dengan hukum yang berlaku dalam perang, yang mencakup cara dilakukannya perang con-duct of war dan hukum yang mengatur mengenai perlindungan orang-orang yang menjadi korban perang Hukum Jenewa. Artinya efek kehancuran akibat perang bisa dibatasi dengan memproduksi senjata dengan presisi tingkat tinggi. Jika ini sudah dipenuhi, maka akan jelas target combatant dan non combatant di dalam peperangan. Perlindungan terhadap Penduduk Sipil, Objek Sipil dan Benda-benda Cagar Bu-daya Pasal 48 Protokol Tambahan I 197718 menentukan pihak-pihak dalam sengketa harus membedakan antara penduduk sipil dari kombatan dan antara obyek sipil 17 Irmawan Effendi, 18 Artikel 48 dalam Protokol Tambahan Konvensi Jenewa tertulis In order to ensure respect for and protec-tion of the civilian population and civilian objects, the Par-ties to the conflict shall at all times distinguish between the civilian population and combatants and between civilian objects and military objectives and accordingly shall direct their operations only against military sasaran militer, dan karenanya harus mengarahkan operasinya hanya terhadap sasaran militer saja. Ketentuan dalam Pasal 48 ini merupakan konkritisasi dari prinsip pembedaan distinction principle. Prinsip pembedaan adalah prinsip yang membedakan antara kelompok yang dapat ikut serta secara langsung dalam pertempuran kombatan disatu pihak, dan kelompok yang tidak ikut serta dan harus dilindungi dalam pertempuran yaitu penduduk sipil. Pembedaan ini sangat diperlukan, dalam rangka melindungi korban-korban yang tidak perlu. Pasal 51 ayat 2 menentukan bahwa penduduk sipil tidak boleh dijadikan sasaran dalam serangan dan Pasal 51 ayat 6 menentukan bahwa serangan terhadap penduduk sipil atau orang-orang sipil dengan cara tindakan pembalasan reprisals adalah dilarang Hal yang sama tertulis pada Artikel 52 2 tentang General protection of civilian objects Attacks shall be limited strictly to military objectives. In so far as objects are concerned, military objectives are limited to those objects which by their nature, location, purpose or use make an effective contribution to military action and whosetotal or partial destruction, capture or neutralization, in the circumstances ruling at the time, offers a definite military advantage. Artikel 48 dan 52 ayat 2 sudah be-gitu jelas menguraikan tentang larangan bagi pihak yang terlibat dalam perang un-tuk menyerang fasilitas sipil. Penyerangan hanya ditujukan pada fasilitas militer yang berhubungan langsung dan mendukung aktivitas peperangan. Kemampuan dalam membedakan masyarakat sipil dan combat-ant harus dilaksanakan dengan cara me-nentukan sasaran yang memang betul-betul adalah fasilitas militer. Protokol tambahan Konvensi Jenewa memberikan pembatasan terhadap senjata yang digunakan di dalam perang. Senjata 23 Kajian Hukum dan Keadilan IUSErlies Septiana NurbaniPerkembangan Teknologi Senjata Dan Prinsip Proporsionalitas............yang digunakan tidaklah memberikan efek yang berlebihan dan penderitaan yang tidak diperlukan. Artikel 35 menjelaskan larangan penggunaan metode yang dapat memberikan efek luas dan juga kerusakan jangka panjang, “it is prohibited to employ methods or means of warfare which are intended, or may be expected, to cause widespread, long-term and severe damage to the natural environment.”Pasal 53 Protokol Tambahan I menen-tukan perlindungan bagi objek-objek bu-daya dan tempat pemujaan. Perlindungan terhadap objek-objek yang diperlukan bagi kelangsungan hidup penduduk sipil diatur dalam Pasal 54. Pihak yang bersengketa di-larang menimbulkan kelaparan sampai mati pada orang-orang sipil sebagai suatu cara berperang. Dilarang menyerang, menghan-curkan, meniadakan atau menelantarkan objek-objek yang mutlak diperlukan bagi kelangsungan kehidupan penduduk sipil, seperti bahan makanan, menghancurkan daerah-daerah pertanian yang menghasilk-an bahan makanan, hasil panen, ternak, in-stalasi air minum dan bangunan pengairan. Perlindungan terhadap lingkungan alam diatur dalam Pasal 55. Pasal 56 menen-tukan perlindungan terhadap bangunan-bangunan dan instalasi-instalasi vital, sep-erti bendungan, tanggul, pusat pembangkit tenaga listrik, tidak boleh dijadikan sasaran perang. Pasal 56 ayat 4 menentukan bah-wa bangunan-bangunan, instalasi tersebut tidak boleh sebagai objek tindakan pem-balasan reprisals. Prinsip Proporsionalitas dan Perkem-bangan Teknologi SenjataPengeboman Hiroshima dan Nagasaki pada Perang Dunia II oleh tentara sekutu dalam rangka menaklukan Jepang adalah salah satu kenyataan historis mengenai penggunaan teknologi senjata yang sangat bertentangan dengan prinsip proporsionali-tas. Dilihat dari segi kepentingan militer, se-kutu berhasil dengan menyerahnya Jepang, namun terdapat ribuan penduduk sipil yang meninggal akibat pemboman tersebut. Aki-bat pemboman itu, dari orang pen-duduk Kota Hiroshima, terbunuh, luka berat, luka ringan dan orang Merekapun menderita berbagai penyakit yang timbul karena adan-ya radiasi seperti pendarahan dalam, kanker dan leukimia. Tiga hari setelah itu, pembo-man di Nagasaki juga mengakibatkan keru-sakan yang hampir sama parahnya dengan apa yang terjadi di Dan, ternyata, bertahun-tahun setelah pembo-man tersebut, masih menyebabkan penderi-taan yang berkepanjangan bagi penduduk Hiroshima dan Nagasaki. Banyaknya bayi cacat yang lahir karena radiasi, tergang-gunya fungsi reproduksi dan trauma yang Bom Atom Hiroshima dan Nagasaki merupakan fakta aktual dari pelanggaran prinsip proporsionalitas dalam hukum humaniter internasional. Prinsip proporsionalitas adalah salah satu prinsip fundamental dari Hukum Humaniter Internasional22, bersamaan dengan prinsip pembedaan dan kemanusiaan. Prinsip ini membatasi jumlah korban sipil dalam rangka menyerang objek militer yang sah. Walaupun dalam pelaksanaannya, prinsip ini adalah prinsip yang sangat sulit untuk ditaati oleh negara-negara yang sedang terlibat dalam konflik bersenjata. 19 Survei Dewan Kota Hiroshima dalam Francoius Bugnion, The International Committe of the Red Cross and Nuclear Weapons From Hiroshima to the Dawn of the 21st Century,ICRC Journal Humanitarian Debate Law, Policy and Action Means of Warfare,Volume 87 Number 859 September 2005. Hlm. 512. 20 Ibid. 21 Sri Setianingsih Suwardi, “Serangan Israel Terha-dap Lebanon Dikaitkan dengan Prinsip-Prinsip Hukum Humaniter”, Indonesian Journal of International Law, Volume 4 Nomor 1 Oktober 2006, 22 Prinsip Proporsionalitas merupakan bagian dari Hukum Kebiasaan Internasional yang mengikat semua negara. Dikodifikasinya prinsip ini dalam Protokol Tam-bahan I Konvensi Jenewa 1977 semakin memperteguh kekuatan mengikat prinsip tersebut. Jurnal IuS Vol V Nomor 1 April 2017 hlm, 24 Kajian Hukum dan KeadilanIUS 24~29Penuntut pada International Criminal Tribunal for the Former Yugoslavia menyatakan bahwa “it is much easier to formulate the principle of proportionality in general terms than it is to apply it to a particular set of circumstances”23. Oleh karena itu, para pihak dalam peperangan harus dapat membandingkan secara objektif antara tujuan militer dan kemungkinan kerugian penduduk sipil dalam penggunaan suatu metode atau senjata tertentu. Kedua hal tersebut haruslah seimbang. Para pihak diwajibkan untuk dapat memperkirakan kerugian yang mungkin diakibatkan oleh metode atau senjata yang akan digunakan. Sehingga, sebuah serangan/senjata dianggap proporsional jika kemungkinan kerugian penduduk sipil tidak berlebihan dalam hubungannya dengan nilai yang dapat diperoleh dari serangan/senjata Prinsip proporsionalitas diharapkan dapat menjadi arahan bagi para pihak yang terlibat dalam peperangan untuk memper-timbangkan setiap serangan pada pihak musuh untuk tidak menyengsarakan pen-duduk sipil. Usaha masyarakat internasi-onal agar pihak yang berperang menaati prinsip proporsionalitas sebenarnya telah ditentukan dalam pasal 2 ayat 4 Piagam PBB. Walaupun dalam pasal tersebut tidak secara tegas menyebutkan prinsip pro-porsionalitas, namun pasal tersebut dengan tegas menyebutkan bahwa masyarakat internasional harus mengusahakan peny-elesaian sengketa dengan damai dan meng-hindarkan penggunaan kekerasan dalam menyelesaikan sengketa diantara mereka. 23 David Akerson, Applying Jus in Bello Proportion-ality in Drone Warfare, Oregon Review of International Law, Volume 16, 173, 2014, page Selaras dengan Aturan 14 Daftar Aturan Kebiasaan Hukum Humaniter Internasional yang menyatakan bah-wa, melancarkan penyerangan yang bisa diperkirakan bakal menimbulkan kerugian ikutan berupa korban tewas sipil, korban luka sipil, atau kerusakan objek sipil atau gabungan dari ketiga hal tersebut, yang merupakan hal yang berlebihan dibandingkan dengan keuntungan militer yang kongkrit dan langsung yang ingin dicapai, adalah dilarang. Prinsip proporsionalitas ditujukan agar perang atau penggunaan senjata tidak me-nimbulkan korban, kerusakan dan pen-deritaan yang berlebihan yang tidak ber-kaitan dengan tujuan-tujuan militer. Sehingga, setiap pilihan dari penggunaan suatu senjata tertentu harus memenuhi keseimbangan antara kepentingan militer dan kerugian/kerusakan/kematian yang mungkin atau patut diduga dapat timbul dari penggunaan senjata tersebut. Faktanya, sangat sulit untuk menilai keseimbangan antara kepentingan militer dan kemungki-nan kerugian yang ditimbulkan oleh suatu senjata baru. Pada prinsipnya, larangan untuk me-nyebabkan penderitaan yang berlebihan atau luka-luka yang tidak perlu merupakan pencegahan dari penggunaan senjata yang bersifat membabi buta indiscriminate attacks. Misalnya saja penggunaan senjata racun/gas beracun, senjata kimia, herbi-sida, dll. Penggunaan senjata semacam itu akan sangat menyulitkan untuk menilai keseimbangan antara tujuan militer dan objek serangan. Apakah senjata tersebut dapat efektif untuk melukai atau melum-puhkan military objects? Atau justru akan menimbulkan kerugian yang lebih besar bagi penduduk sipil, korban luka sipil dan kerusakan benda sipil. Oleh karena itu, sifat dari senjata yang membabi buta dilarang. Larangan penggunaan senjata yang bersifat membabi buta selaras dengan Kebiasaan Hukum Humaniter Internasional sebagaimana diatur dalam Aturan 11 sampai dengan Aturan 13. Aturan 12 secara spesifik menyatakan yang dimaksud dengan serangan membabi buta, adalah25 a. Yang tidak diarahkan pada sebuah sasaran militer tertentu. b. Yang menggunakan cara atau sarana pertempuran tertentu yang tidak dapat 25 Daftar Aturan-aturan Hukum Humaniter Interna-sional Kebiasaan 25 Kajian Hukum dan Keadilan IUSErlies Septiana NurbaniPerkembangan Teknologi Senjata Dan Prinsip Proporsionalitas............oleh anggota angkatan bersenjata jika dalam pelaksanaannya akan menimbulkan kerugian yang lebih besar, khususnya kerugian di pihak penduduk dan objek sipil. Penggunaan prinsip kepentingan militer harus melalui lima tahap dan kelima tahap tersebut bersifat kumulatif, artinya kelima tahapan tersebut harus dipenuhi. Kelima tahapan tersebut adalah27 1. Tindakan Yang Dilakukan Tidak Melanggar Larangan Mutlak Hukum Humaniter Internasional Walaupun menurut hukum hu-maniter internasional pihak yang ber-perang untuk dapat mencapai tujuan-nyam dimungkinkan untuk mengadakan penyerangan terhadap objek yang mung-kin merugikan bagi penduduk sipil, namun kepentingan militer tidak dapat sebagai dasar pembenar untuk pelanggaran ter-hadap hukum humaniter internasional. Pihak berperang harus menaati apa yang ditentukan dalam Pasal 52 Protokol Tambahan I 1977 yang menentukan perlindungan bagi objek-objek sipil. 2. Benar-Benar Ada Keharusan Untuk Melakukan Tindakan TersebutPihak yang berperang harus dapat membuktikan terdapat keadaan militer genting yang mengharuskan diambilnya tindakan pelanggaran tersebut. Keadaan genting tersebut bisa berupa ancaman terhadap kesatuannya oleh tentara musuh, keperluan logistik dan lain-lain. Koman-dan harus dapat membuktikan keadaan genting itu terjadi sebelum tindakan serangan terhadap musuh dilakukan, bu-kan sesudahnya. 3. Tindakan Yang Dilakukan Adalah Paling Tepat Untuk Meraih Kepentingan Militer Yang Diharapkan27 Ibiddiarahkan kepada sebuah sasaran militer tertentu; atau c. Yang menggunakan cara/sarana per-tempuran yang dampaknya tidak dapat dibatasi sesuai dengan aturan Hukum Humaniter Internasional. Sebagai contoh dari serangan yang membabi buta, antara lain26 a. Serangan yang dilakukan dengan pemboman, dengan cara atau alat apapun, yang memperlakukan sebagai suatu objek militer sejumlah objek militer yang berlainan dan terpisah, yang terletak dalam satu kota, dusun atau wilayah, dimana terdapat pula konsentrasi penduduk sipil dan objek sipil. b. Serangan yang dapat diharapkan akan menimbulkan korban jiwa pada penduduk sipil, luka-luka pada orang sipil, kerusakan pada objek sipil yang berlebihan, dibandingkan dengan hasil yang diharapkan. Akibatnya, setiap serangan yang bersifat membabi buta bersifat mengenai sasaran militer maupun penduduk sipil atau objek sipil dalam peperangan. Sehingga, serangan membabi buta, baik dari aspek persenjataan maupun metode peperangan, adalah dilarang. Prinsip proporsionalitas sangat berkaitan dengan prinsip kepentingan militer military neccesity. Dalam menggunakan kekerasan, hal yang harus diperhitungkan adalah prinsip proporsionalitas yaitu keseimbangan antara kepentingan militer dan kepentingan kemanusiaan. Apakah metode atau persenjataan yang telah dipilih proporsional dengan kerugian yang mungkin diakibatkan olehnya. Sehingga, kemungkinan tersebut telah diperhitungkan sebelumnya, termasuk penggunaan metode dan senjata alternatif yang bisa diambil 26 Haryomataram, Pengantar Hukum Humaniter, Rajagrafindo Persada, Jakarta, 2012, hlm 180. Jurnal IuS Vol V Nomor 1 April 2017 hlm, 26 Kajian Hukum dan KeadilanIUS 26~29Ketentuan-ketentuan yang diatur dalam Additional Protocol I 1977 meru-pakan tambahan dari Hague Regulations 1907. Hague Regulations 1907 sendiri merupakan penyempurnaan dari Kon-ferensi Perdamaian I di Den Haag 1899, sehingga seluruh rangkaian proses kon-ferensi tersebut dikenal dengan Hukum Denhag. Prinsip pertama yang terdapat dalam Hukum Denhag berbunyi, “the rights of belligerents to adopt means of injuring the enemy is not unlimited”. Ini berarti bahwa ada cara-cara tertentu dan alat-alat tertentu yang dilarang untuk digunakan. Prinsip selanjutnya, yang merupakan prinsip penting dalam Hukum Denhag dan dianggap dapat memberikan perlindungan hukum terhadap negara yang menderita kerugian dalam peperangan serta dapat melindungi penduduk sipil secara efektif khususnya terhadap perkembangan teknologi senjata, adalah prinsip Martens Clause28. Martens Clause terdapat dalam preamble Konvensi Denhag, berbunyi “Until a more complete code of the laws of wars has been issued, the High Contracting parties deem it expedient to declare that, in cases not included in the Regulations adopt by them, the inhabitants and the bel-ligerents remain under protection and the rule of the principles of the law of nations, as they result from the usages established among civilized peoples, from the laws of humanity and the dictates of the public consciences”. Terjemahan bebasnya Apabila hukum humaniter belum meng-atur suatu ketentuan hukum mengenai masalah-masalah tertentu, maka ketentu-an yang dipergunakan harus mengacu ke-28 Diambil dari nama Ketua Delegasi Rusia, Freder-ic de Martens pada Konferensi Perdamaian di Denhag 1899. Frederic de Martens merupakan professor hukum internasional. Tindakan yang dilakukan adalah tindakan yang memberikan sumbangan yang efektif bagi aksi militer untuk mencapai keuntungan militer yang pasti. 4. Akibat Dari Tindakan Tersebut Memenuhi Prinsip ProporsionalitasAkibat tindakan militer yang me-rugikan kepentingan penduduk sipil haruslah diperhitungkan apakah kerugian yang diderita oleh penduduk sipil tersebut telah memenuhi prinsip proporsionalitas. Bila tindakan militer tersebut memenuhi syarat prinsip proporsionaliras baru tindakan tersebut dapat dibenarkan. 5. Cara Yang Diambil Sudah Melalui Pertimbangan Segala Aspek Yang Terkait. Dalam menyusun strategi penyeran-gan, komandan harus mempertimbang-kan segala kepentingan yang terkait, terutama aspek kemanusiaan. Aspek perlindungan terhadap penduduk sipil yang kemung kinan terkena aspek buruk dari tindakan militer yang diambil, harus diper timbangkan. Tindakan militer ter-sebut harus dapat meminimalisir kerugian penduduk sipil. Prinsip proporsionalitas telah diakomodir dalam Additional Protocol I Konvensi 1977, Pasal 35 ayat 2 Protokol Tambahan I “It is prohibited to employ weapons, projectiles and material and methods of warfare of a nature to cause superfluous injury or unnecessary suffering”. Bahwa, dilarang menggunakan senjata, proyektil, material dan metode berperang yang menimbulkan luka-luka yang berlebihan dan penderitaan yang tidak perlu. Serta selanjutnya dikatakan pula bahwa menggunakan alat atau cara berperang yang mengakibatkan atau dapat diperkirakan akan menyebabkan kerusakan luas-hebat-berjangka panjang terhadap lingkungan hidup, adalah dilarang. 27 Kajian Hukum dan Keadilan IUSErlies Septiana NurbaniPerkembangan Teknologi Senjata Dan Prinsip Proporsionalitas............pada prinsip-prinsip hukum internasional yang terjadi dari kebiasaan yang terben-tuk dari bangsa-bangsa yang beradab, dari hukum kemanusiaan serta dari hati nurani masyarakat. Martens Clause merupakan klausula yang sangat penting, karena dengan me-ngacu kepada prinsip-prinsip hukum dan kebiasaan-kebiasaan internasional yang diakui oleh bangsa-bangsa yang beradab, maka pengaturan sengketa bersenjata tidak hanya berdasar pada hukum humaniter tertulis dalam bentuk perjanjian inter-nasional. Klausula ini menekankan pada prinsip-prinsip kemanusiaan dan hati nurani masyarakat dunia, khususnya dalam menghadapi dan mengatur perkembangan baru dari teknologi militer. Martens Clause terdapat dalam Addition-al Protocol I 1977, Pasal 1 ayat 2, yang me-nyatakan bahwa, “in cases not covered by this protocol or by other international agreements, civilians and combatants remain under the protection and authority of the principles of international law derived from established custom, from the principle of humanity and from dictates of public conscience”. Nampak bahwa Pasal 1 ayat 2 Additional Protocol I merupakan pengulangan preamble Kon-vensi Denhag sebelumnya. Sehingga, kewa-jiban untuk melindungi penduduk sipil dan kombatan tidak hanya menjadi bagian Hu-kum Denhag tetapi juga Hukum Jenewa29. Dapat disimpulkan bahwa Martens Clause merupakan salah satu dari common articles yaitu ketentuan yang bersamaan, yaitu be-berapa pasal dalam Konvensi Konvensi Jenewa yang dipadang penting dan men-dasar sehingga perlu dicantumkan dalam 29 Klausula ini terdapat dalam berbagai perjanjian internasional yang mengatur tentang konflik bersenjata dengan naskah yang sama. Misalnya, dalam Pembukaan Protokol II, Pembukaan Conventional Weapons Conven-tion 1980. Klausula ini semakin nampak urgensinya jika dilihat dalam berbagai batang tubuh dalam bentuk pas-al-pasal sebagaimana terdapat dalam Konvensi jenewa 1949 dan Protokol I Konvensi I Pasal 63, Konvensi II Pasal 62, Konvensi III Pasal 142, Konvensi IV Pasal 158. setiap Konvensi, baik dalam nomor pasal yang sama atau dengan redaksi yang ham-pir sama. Pada dasarnya, Martens Clause memiliki dua fungsi utama, yaitu 30 First, despite the considerable increase in the number of subjects covered by the law of armed conflicts, and despite the detail of its codification, it is not possible for any codification to complete at any given mo-ment , thus the Martens clause prevent the assumption that anything which is not ex-plicitly prohibited by the relevant treaties is therefore permitted. Secondly, it should be seen as a dynamic factor proclaiming the applicability of the principles mentioned regardless of subsequent developments of type of situation or technology. Terjemahan bebasnya, adalah Pertama, meskipun peningkatan yang cukup besar dalam jumlah subjek yang tercakup dalam hukum konflik bersenjata, dan meskipun detail dari kodifikasi, tidak mungkin untuk setiap kodifikasi untuk menyelesaikan konflik pada saat terten-tu, sehingga klausula Martens mencegah asumsi bahwa apa pun yang tidak secara eksplisit dilarang oleh perjanjian yang rel-evan akan diizinkan. Kedua, harus dilihat sebagai faktor dinamis bahwa penerapan prinsip-prinsip yang disebutkan terlepas dari perkembangan situasi atau teknologi. Martens Clause merupakan dasar moral yang telah diadopsi sebagai hukum. Meskipun perkembangan situasi dan teknologi semakin maju, Martens Clause menjadi dasar pembatasan bagi penggunaan berbagai jenis senjata oleh negara-negara yang terlibat dalam konflik bersenjata. Hal ini senada dengan apa yang disampaikan oleh International Court of Justice dalam 30Robert Kold dan Richard Hyde, An Introduction to the International Law of Armed Conflict, Hart Publish-ing, Oxford Portland Oregon, 2008, page 62. Jurnal IuS Vol V Nomor 1 April 2017 hlm, 28 Kajian Hukum dan KeadilanIUS 28~29Nuclear Weapons Advisory Opinion, bahwa “the court would likewise refer, in relation to these principle of the LOAC, to the Martens Clause, which was first included in the Hague Convention II with respect to the Laws and Customs of War on Land of 1899 which has proved to be an effective means of addressing the rapid evolution of military technology”.31 Martens Clause telah terbukti sebagai media yang efektif dalam membatasi penggunaan teknologi militer terbaru dalam peperangan. Sehingga, meskipun perkembangan teknologi militer/senjata belum diatur seluruhnya dalam suatu kodifikasi perjan-jian internasional di bidang hukum perang, para pihak berkewajiban untuk mematuhi prinsip-prinsip fundamental dalam hukum humaniter internasional, khususnya prin-sip proporsionalitas. Prinsip proporsionali-tas dapat dijadikan sebagai sandaran bagi para pihak dalam konflik bersenjata. Se-hingga, perlindungan terhadap penduduk sipil, khususnya, tetap dapat dipaksakan berdasarkan prinsip proporsionalitas. SIMPULAN Berdasarkan pembahasan di atas, penulis dapat menarik beberapa kesimpulan dalam penelitian ini, antara lain 1. Bahwa perkembangan teknologi senjata mengalami perkembangan pesat, khusus-nya setelah pernag dingin. Negara-negara maju dalam bidang teknologi berperan aktif dalam mengembangkan teknologi senjata. Senjata yang diciptakan bersifat efektif, efisien dan mampu melumpuh-kan kekuatan potensial musuh. Faktanya, perkembangan teknologi senjata meru-pakan hal yang belum diatur dalam kodi-fikasi hukum humaniter internasional. Hukum bergerak di belakang dalam hal ini. 2. Prinsip proporsionalitas adalah salah satu prinsip yang mendasar dalam 31 Ibid. Page 63. hukum humaniter internasional. Prinsip proporsionalitas adalah prinsip yang diterapkan untuk membatasi kerusakan yang disebabkan oleh operasi militer dengan mensyaratkan bahwa akibat dari sarana dan metode berperang yang digunakan tidak boleh tidak proporsional harus proporsional dengan keuntungan militer yang diharapkan. Sehingga, prinsip ini menjadi kendali pihak yang bersengketa dalam melakukan serangan terhadap pihak lawan, baik dari segi persenjataan sarana atau pun metode cara yang digunakan untuk melemahkan pihak PUSTAKABuku dan JurnalArlina Permanasari, Aji Wibowo et all, Pen-gantar Hukum Humaniter Interna-sional, International Committee the of Red Cross, Jakarta, 1990David Akerson, Applying Jus in Bello Proportionality in Drone Warfare, Oregon Review of International Law, Volume 16, 173, 2014. Frederic de Mullinen, Handbook on the Law of War for Armed Forces, ICRC, Geneva, 1987. KGPH Haryomataram, Pengantar Hukum Humaniter, Rajagrafindo Persada, Jakarta, 2012. Henry Campbell Black, Blacks Law Dictionary, St Paul MinWest Publishing Co, USA, 1990. ICRC Journal Humanitarian Debate Law, Policy and Action Means of Warfare,Volume 87 Number 859 September 2005. ICRC Review, Means of Warfare, Volume 87 Number 859 September 2005. Irmawan Effendi, Cluster Bom dan Teori Just War Perlindungan Sipil dalam Perang, Jurnal ISIP, Volume IX Nomor 1, Januari-Juni 2010. 29 Kajian Hukum dan Keadilan IUSErlies Septiana NurbaniPerkembangan Teknologi Senjata Dan Prinsip Proporsionalitas............Mohammad Bedjaoui, Modern Wars Humanitarian Challenge A Report for the Independent Commission on International Humanitarian Issues, Zed Books, Ltd. London, 1986. Robert Kold dan Richard Hyde, An Introduction to the International Law of Armed Conflict, Hart Publishing, Oxford Portland Oregon, 2008. Sri Setianingsih Suwardi, Serangan Israel Terhadap Lebanon Dikaitkan dengan Prinsip-Prinsip Hukum Humaniter, Indonesian Journal of International Law, Volume 4 Nomor 1 Oktober bin Abdel Karim al Zayyid, Pengantar Hukum Humaniter Internasional dalam Islam, ICRC, 2008. World Wide Web War Before Civilization, diakses pada tanggal 8 Februari 10 Senjata Tercanggih di Dunia, Diakses pada tanggal 8 Februari 2017. Yanti FristikawatiBangunan cagar budaya seperti candi, katedral, istana, dan bangunan bersejarah lainnya merupakan bangunan yang dilindungi dan tidak boleh dirusak atau dihancurkan. Namun pada saat konflik bersenjata di suatu negara baik konflik internal maupun internasional seringkali tidak memperhatikan perlindungan terhadap bangunan cagar budaya yang seharusnya internasional perlindungan bangunan cagar budaya terdapat dalam The Hague Convention for the Protection of Cultural Property in the Event of Armed Conflict, tahun 1954 dan Convention concerning the Protection of the World Cultural and Natural Herritage tahun 1972 dimana dalam aturan tersebut negara harus melindungi bangunan cagar budaya. Tulisan ini akan membahas tentang bagaimana perlindungan bangunan cagar budaya saat terjadi konflik bersenjata di suatau negara, siapa yang berkewajiban untuk melindungi bangunan cagar budaya saat terjadi perang atau konflik RahmatullahThis systematic review aims to determine the management strategy for improving the quality of madrasah in Banten Province. The method used is a systematic review. The number of research results journals and theses reviewed is 4 documents. The inclusion criteria used are related to the management strategy for improving the quality of madrasas in Banten Province. The protocol used in the review is the Prism model. The conclusion of this review is that the management strategy for improving the internal quality of madrasas, for example, is carried out by managing the quality of education and intensifying local content, increasing the formulation of the vision and mission of madrasah, improving the quality of teachers, improving active learning processes, improving the quality of facilities, and improving the quality of output. Another strategy, for example, is to integrate learning values and local culture for the public of Banten Made SukadanaAmiruddin AmiruddinLalu ParmanNegara Indonesia merupakan Negara Hukum, sedangkan fungsi hukum dalam negara hukum adalah sebagai “Social Control” Pengendalian tingkah laku masyarakat, yang maksudnya hukum berfungsi untuk mengatur tingkah laku manusia dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, guna menciptakan suasana yang tertib, teratur dan tenteram. Adapun tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui dan menganalisis pengaturan keterangan saksi mahkota dalam hukum acara pidana di Indonesia, untuk mengetahui dan menganalisis kategori keterangan saksi mahkota dalam praktik penegakkan hukum tindak pidana pencurian. Pengaturan keterangan saksi mahkota dalam Hukum Acara Pidana Indonesia tidak diatur dalam ketentuan Pasal 184 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana. Kategori keterangan saksi mahkota dalam proses penegakkan hukum tindak pidana pencurian adalah saksi mahkota digunakan dalam hal terjadi penyertaan deelneming, di mana terdakwa yang satu dijadikan saksi terhadap terdakwa lainnya oleh karena alat bukti yang lain tidak ada atau sangat minim, dan hal ini dimaksud untuk mempermudah Kunci Alat Bukti; Saksi Mahkota; Pidana Mangandar PutraLalu SabardiL. ParmanPenelitian ini bertujuan untuk mengetahui perlindungan hukum terhadap anak yang melakukan tindak pidana persetubuhan dalam sistem peradilan pidana anak dari tahap penyidikan, tahap penuntutan, tahap persidangan dan tahap pemasyarakatan dan bagaimanakah penerapan sistem peradilan pidana anak terhadap anak pelaku tindak pidana persetubuhan dalam Putusan Hakim Pengadilan Negeri Selong nomor 04/ Penelitian ini merupakan penelitian hukum normatif dengan menggunakan metode pendekatan perundang-undangan, metode pendekatan konseptual dengan analisis deskriptif. Hasil penelitian ini diantaranya, bahwa dalam sistem peradilan pidana anak di Indonesia diatur beberapa hal terkait bentuk-bentuk perlindungan hukum terhadap anak pelaku tindak pidana dalam seluruh proses peradilan hingga anak dipersiapkan secara fisik dan mental untuk memulihkan kepercayaan dirinya sebelum bersosialiasi kembali dengan masyarakat. Selanjutnya bahwa penerapan sistem peradilan pidana anak dalam Putusan Hakim Pengadilan Negeri Selong nomor 04/ terhadap anak LASS pelaku pencabulan dengan putusan kepada anak dijatuhkan pidana pokok berupa pidana dengan syarat pembinaan di luar lembaga bertempat di LPKS selama 1 tahun 6 bulan dan pidana denda diganti dengan wajib mengikuti pelatihan kerja selama 1 has not been able to resolve any references for this publication.

ilmu tentang mempergunakan senjata